Minggu, 30 Agustus 2009

Dauroh Bantul 25-27 Juli 2009

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Ta’ala, karena Muhadharah bersama para Ulama Sunnah dengan tema “Jalan Keluar dari Problematika Hidup adalah Kembali kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan bimbingan para Ulama” telah selesai dilaksanakan tanpa ada halangan berarti.

Ucapan terimakasih juga panitia haturkan kepada seluruh pihak yang telah berperan serta mensukseskan acara tersebut.

Berikut ini adalah link download dauroh. Silakan didownload.

Hari Jum’at (malam), 2 Sya’ban 1430 H - 24 Juli 2009
Sesi 1: Taushiyah Al Ustadz Abdul Jabbar
Download

Sesi 2: Taushiyah Ust Abd Barr
Download

Hari Sabtu, 2 Sya’ban 1430 H - 25 Juli 2009

Sesi 1: Al Ustadz Muhammad Rijal
Download

Sesi 2: Pembukaan
Download

Sesi 3: Asy Syaikh Abdullah Bukhori
Download

Sesi 4: Asy Syaikh Khalid
Download

Sesi 5: Al Ustadz Mukhtar
Download

Hari Ahad, 3 Sya’ban 1430 H - 26 Juli 2009
Sesi 1: Al Ustadz Adnan
Download

Sesi 2: Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari
Download

Telepon Asy Syaikh Rabi’ bin Ha

Games Linux

Warzone 2100


Glest
Download : For Windows


BosWars


Globulation 2


Spring
Download : For Windows


Klik Disini, dan Disana untuk lebih lengkapnya.

Rahmat Allah bagi umat Islam dengan Dua Hari Raya (Iedul Fithri & Adha)

Dari Anas Radliallahu 'anhu ia berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah[1]. Maka beliau bersabda (yang artinya) : “Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri". (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134), An-Nasa'i (3/179) dan Al-Baghawi (1098).

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna : "Maksudnya : Karena hari Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan dengan syariat Allah Ta'ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu Haji dan Puasa, serta didalamnya Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu. Penyebab ditentukannya hari itu sebagai hari raya buat mereka adalah karena pada kedua hari itu situasi kondisi, suhu udara dan selainnya dari keistimewaan yang akan sirna. Perbedaan antara dua keistimewaan antara Idul Fithri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya". [Fathur Rabbani 6/119].

Footnote :
1. Yaitu hari Nairuz dan hari Mahrajan. Lihat "Aunul Ma'bud" (3/485) oleh Ath Thayib Al-Adhim Abadi (3/485).

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Kebolehan dalam syariat ALLAH saat berhari-raya

Diriwayatkan dari Aisyah radliyalahu 'anha, ia berkata (yang artinya) : “ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku sedangkan di sisiku ada dua anak perempuan kecil yang sedang bernyanyi[1] dengan nyanyian Bu'ats [2]. Lalu beliau berbaring (bersandar di atas lengannya) di tempat tidur dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Masuklah Abu Bakar, lalu dia menghardikku dan berkata : ‘Suara syaitan di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam !?' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menghadap ke Abu Bakar seraya berkata :'Biarkan kedua anak perempuan itu'. Ketika ia telah lalai, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar".

Dalam riwayat lain : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita". [Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari 949, 952, 2097, 3530, 3931. Diriwayatkan juga oleh Muslim 892. Ahmad 6/134 dan Ibnu Majah 1898].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : "Dalam hadits ini ada beberapa faedah : Disyariatkan untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama.[3 ]

Footnote :
1. Dalam riwayat lain ada lafadh :("dan keduanya bukanlah penyanyi"). lihat "Syarhu Muslim" (6/182) oleh An-Nawawi.
2. Berkata Ibnul Atsir dalam An Nihayah 1/139 " Suatu hari yang masyhur, dahulu terjadi peperangan antara al Aus dan Al Khazraj. Dan Bu'aats nama sebuah benteng milik bani Aus."

Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/322) mengatakan : "Bu'ats[ ], adalah hari yang terkenal di antara hari-harinya bangsa Arab. Pada hari itu suku Aus mendapatkan kemenangan yang besar dalam peperangan dengan suku Khazraj. Peperangan antara kedua suku ini berlangsung selama 120 tahun sampai datang Islam. Syair yang didendangkan oleh kedua anak perempuan itu berisi penggambaran (tentang) peperangan dan keberanian serta menyinggung upaya untuk membantu tegaknya perkara agama. Adapun nyanyian yang berisi kekejian, pengakuan berbuat haram dan menampakkan kemungkaran dengan terang-terangan melalui ucapan, adalah termasuk nyanyian yang dilarang. Tidak mungkin nyanyian seperti itu yang di dendangkan di hadapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dilalaikan untuk mengingkarinya. Sabda beliau : "Ini adalah hari raya kita", beliau mengemukakan alasan dari Aisyah bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya merupakan syiar (slogan) agama ini, dan tidaklah hari raya itu seperti hari-hari lain". [Selesai ucapan Imam Al-Baghawi].

3. Fathul Bari (2/443). Saya telah menulis sebuah risalah tentang hukum duf (rebana). Majalah Al-Mujtama Al-Kuwaitiyah yang terbit tanggal 15 Ramadhan 1402 H., yang memuat suatu bagian tentangnya. Apabila ALLAH memberi keluasan umur, maka akan saya bahasa lebih luas dan saya sebarkan teresendiri, dalam sebuah kitab yang rinci berjudul "Al-Jawabus Sadid 'ala Man Sa'ala an Hukmid Dufuf wal Anasyid", semoga Allah memudahkan penyelesaian kitab tersebut dan penerbitannya.

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Syar'inya berhias diri di Hari Raya

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata : (yang artinya) : "Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan yang menghadap engkau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak memiliki keimanan / pakaian orang-orang kafir'. Setelah itu Umar tidak menampakkan diri beberapa hari yang dikehendaki Allah. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang kafir dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49]

Berkata Al-Allamah As-Sindi : "Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : "Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa ia biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]

Beliau juga menyatakan : "Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].

Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan : "Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".

Malik berkata : "Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".

Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441) : "Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah[ ], namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman.

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Tuntunan Rasulullah Sholat Ied Di Tanah Lapang

Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri Radliallahu 'anhu, ia berkata (yang artinya) : “ Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang – bukan masjid kecil sebagaimana dipahami di Indonesia, red) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat ..." [Hadits Riwayat Bukhari (956), Muslim (889) dan An-Nasaa'i 3/187]

Berkata Al-Alamah Ibnul Hajj Al Maliki : "Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : (yang artinya): “Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi -pen) lebih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Haram". [Hadits Riwayat Bukhari 1190 dan Muslim 1394]

Namun, walau ada keutamaan yang sangat agung ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap keluar ke mushalla (tanah lapang) dan meninggalkan masjidnya. [Al-Madkhal 2/283] (yakni melaksanakan sholat Ied di luar masjid Nabawi – pent).

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan, [Al-Mughni 2/229-230] : "Sunnah untuk melaksanakan shalat Id di tanah lapang, Ali Radliallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan dianggap baik oleh Al-Auza'i dan pengikut ra'yu. Inilah ucapan Ibnul Mundzir." [1]

Siapa yang tidak mampu untuk keluar ke tanah lapang karena sakit atau umur tua, boleh shalat di masjid dan tidak ada dosa baginya Insya Allah. [Al-Mughni 2/229-230].

Di sini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan Shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat.

Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangannya mushalla (tanah lapang yang digunakan untuk shalat Id) meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh ulama. [Lihat Nihayah Al Muhtaj 2/375 oleh Ar-Ramli].

Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah untuk memecah belah persatuan kaum muslimin.

Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

Footnote :
1. Untuk mengetahui dalil-dalil permasalahan ini secara mendetail, disertai bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihi, silakan merujuk pada tulisan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam "Syarhu Sunan an Nasai " (2/421-424). Dan Ustadz kami Al-Albani memiliki risalah tersendiri yang berjudul "Shalat Al-Iedain fii Mushalla Kharijal Balad Hiya Sunnah" cetakan Damaskus, silakan melihatnya, karena risalah tersebut sangat bagus.

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Sunnahnya mengambil jalan lain sepulang dari Mushalla (Tanah Lapang Untuk Sholat)

Telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radliallahu 'anhu, ia berkata (yang artinya) : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla-pen)" [Hadits Riwayat Bukhari 986].

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah : "Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Beliau pergi ke mushalla melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan itu. Ada yang mengatakan : Agar mendapatkan barakahnya dari beliau bagi kedua pengguna jalan yang berbeda. Dan dikatakan pula, agar beliau dapat memenuhi hajat orang yang butuh pada beliau di dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi'ar Islam .... Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- : Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kosong dari hikmah". [Zaadul Ma'ad 1/449].

Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas, beliau mengomentari : " Kalau pun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a'lam". [Raudlatut Thalibin 2/77]. Lihat ucapan Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/314).

Dua Peringatan :

Pertama.
Berkata Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/302-303) : "Disunnahkan agar manusia berpagi-pagi (bersegera) ke mushalla (tanah lapang) setelah melaksanakan shalat shubuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir. Sedangkan keluarnya imam adalah pada waktu akan ditunaikannya shalat".

Kedua.
At-Tirmidzi meriwayatkan (530) dan Ibnu Majah (161) dari Ali Radliallahu 'anhu bahwa ia berkata : "Termasuk sunnah untuk keluar menunaikan shalat Id dengan jalan kaki". [Dihasankan oleh Syaikh kami Al-Albani dalam "Shahih Sunan Tirmidzi"].

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Tuntunan para Salaf dalam bertakbir disaat hari Raya

Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) : “ Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur".

Telah terdapat riwayat, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah keluar pada hari raya Idhul Fithri, beliau bertakbir, ketika mendatangi mushalla sampai selesainya shalat, apabila shalat telah selesai, maka beliau menghentikan takbirnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf, al Muhamili dalam Shalatul ‘Idain dengan sanad sahih tetapi mursal. Riwayat tersebut memiliki syahid/penguat yang menguatkan riwayat tersebut. Lihat Silsilah al Ahadits ash Shohihah (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Id].

Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani : "Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir dengan suara jahr (keras) di jalanan ketika menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita.

Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari'atkan berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang.. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan . Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut[1], dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya (Kapan kaum musliminb diperintahkan takbir di kedua hari raya – pent), maka beliau rahimahullah menjawab : "Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat". [Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat 'Subulus Salam' 2/71-72]

Ibnu Umar dahulu apabila pergi keluar pada hari raya Idhul Fithri dan Idhul Adha, beliau mengeraskan ucapan takbirnya sampai ke mushalla, kemudian bertakbir sampai imam datang. (HR Ad Daraquthni dan Ibnu Abi Syaibah dan selain mereka dengan sanad yang shahih. Lihat Irwa ‘ul Ghalil 650).

Aku katakan : Ucapan beliau rahimahullah : '(dilakukan) setelah selesai shalat' -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab 'Iedain dari "Shahih Bukhari" 2/416 : "Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah".

Umar Radliallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.

Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid".

Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. [Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat "Irwaul Ghalil' 650]

Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.

Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh : Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.
(Yang artinya) : “ Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih]

Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh : Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajallu Allahu Akbar 'alaa maa hadanaa.
(yang artinya) : “ Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita". [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]

Abdurrazzaq -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam "As Sunanul Kubra" (3/316)- meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al- Khair Radliallahu anhu, ia berkata : (yang artinya) : “ Agungkanlah Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira".

Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam "Fathul Bari (2/536) : "Pada masa ini telah diada-adakan suatu tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya".



Footnote :
(1). Yang lebih tragis lagi pelaksanaan takbir untuk hari raya Iedhul Fithri khususnya, sebagian kaum muslimin di negeri-negerinya melakukan dengan cara-cara yang jauh dari sunnah, seperti yang disebutkan di atas dan yang lebih fatal sebagian mereka mengadakan acara takbiran – menurut anggapan mereka – pada malam hari Lebaran sudah mengumandangkan kalimat takbir bahkan dengan cara-cara yang penuh dengan kemaksiatan musik, bercampurnya laki-laki dan wanita serta berjoget-joget dan kemungkaran lainnya – yang sudah dianggap bagian dari syiar Islam. Bahkan mereka menganggap hal itu sunnah dan kewajiban yang harus dilakukan dengan cara yang demikian. Laa haula walaa quwwata illa billah – pent.

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Tatacara Sholat Ied seperti Rasulullah

Pertama : Jumlah raka'at shalat Id ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu.
(yang artinya) : “ Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]

Kedua : Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain dalam shalat,-pent)

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata (yang artinya) : “ Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku" [Riwayat Abu Dawud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya Shahih. Peringatan : Termasuk sunnah, takbir dilakukan sebelum membaca (Al-Fatihah). sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud 1152, Ibnu Majah 1278 dan Ahmad 2/180 dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Id tujuh kali pada rakaat pertama kemudian beliau membaca syrat, lalu bertakbir dan ruku' , kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian beliau membaca surat, takbir lalu ruku', kemudian sujud". Hadits ini hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat Irwaul Ghalil 3/108-112. Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/443,444)]

Berkata Imam Al-Baghawi : "Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada rakaat pertama shalat Id sebanyak tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan selainnya" [Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebagaimana dalam " Syarhus Sunnah 4/309. Lihat 'Majmu' Fatawa Syaikhul Islam' (24/220,221)]

Ketiga : Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Id [Lihat Irwaul Ghalil 3/112-114]. Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata : "Ibnu Umar -dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir" [Zaadul Ma'ad 1/4410]

Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" hal 348 :
"Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Id diriwayatkan dari Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih.

Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang"

Dalam 'Ahkmul Janaiz' hal 148, berkata Syaikh kami : "Siapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbir".

Keempat : Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Id. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata : (yang artinya) : “ Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jalla" [Diriwayatkan Al-Baihaqi 3/291 dengan sanad yang jayyid (bagus)]

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah : "(Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut". [Zadul Ma'ad 1/443]

Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua tangan bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.

Kelima : Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat Al-Qamar [Diriwayatkan oleh Muslim 891, An-Nasa'i 8413, At-Tirmidzi 534 Ibnu Majah 1282 dari Abi Waqid Al-Laitsi radhiyallahu 'anhu] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-A'la dan surat Al-Ghasyiyah [Diriwayatkan oleh Muslim 878, At-Tirmidzi 533 An-Nasa'i 3/184 Ibnu Majah 1281 dari Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu]

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah : "Telah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari beliau selain itu" [Zadul Ma'ad 1/443, lihat Majalah Al-Azhar 7/193. Sebagian ahli ilmu telah berbicara tentang sisi hikmah dibacanya surat-surat ini, lihat ucapan mereka dalam 'Syarhu Muslim" 6/182 dan Nailul Authar 3/297.]

Keenam : (Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun. [Untuk mengetahui hal itu disertai dalil-dalilnya lihat tulisan ustadz kami Al-Albani dalam kitabnya 'Shifat Shalatun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kitab ini dicetak berkali-kali. Dan lihat risalahku 'At-Tadzkirah fi shifat Wudhu wa Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, risalah ringkas.]

Ketujuh : Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Id berjama'ah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at.

Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam "Shahihnya", pada "Bab : Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua raka'at" [Shahih Bukhari 1/134, 135 cet India].

Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari" 2/550 berkata setelah menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di atas).

Dalam tarjumah ini ada dua hukum :
1. Disyariatkan menyusul shalat Id jika luput mengerjakan secara berjamaah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan.
2. Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua raka'at

Berkata Atha' : "Apabila seseorang kehilangan shalat Id hendaknya ia shalat dua rakaat" [sama dengan di atas]

Al-Allamah Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan : "Ini adalah madzhabnya Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mendapati shalat Id bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakat, sehingga ia mendapatkan keutamaan shalat Id sekalipun luput darinya keutamaan shalat berjamaah dengan imam".

Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla untuk shalat Id. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali"[Syarhu Taraji Abwab al Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu 5/27-29]

Berkata Imam Malik dalam 'Al-Muwatha' [Nomor : 592 -dengan riwayat Abi Mush'ab] : "Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-lai maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah) dan lima kali pada raka'at kedua sebelum membaca (Al-Fatihah)"

Orang yang terlambat dari shalat Id, hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat Id. sebagaimana shalat-shalat lain [Al-Mughni 2/212]

Kedelapan : Takbir (shalat Id) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan [Al –Mughni 2/244 oleh Ibnu Qudamah] Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Petunjuk dari Salaf tentang Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] : "Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Id : Taqabbalallahu minnaa wa minkum. (yang artinya) : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian" Wa ahaalallahu 'alaika.

Dan ucapan selainnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata : Aku tidak pernah memulainya mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya, karena menjawab tahiyyah (ucapan selamat) hukumnya wajib. Adapun mendahuluinya, dengan mengucapkan tahniah (ucapan selamat) bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a'lam.[Dicantumkan Al Jalal As Suyuthi menyebutkan dalam risalahnya " Wushul Al Amani bi Ushul At Tahani" beberapa atsar yang berasal lebih darisatu ulama Salaf, di dalamnya ada penyebutan ucapan selamat. Kitab itu dicetak bersama ; Al Haari lil Fatawa 1/81-82, merujuklah padanya. Lihat pula al Maudhu’ fi Ma’rifatul Hadits al Maudhu’ oleh Al ‘Allamah ‘Ali al Qaari (87) dengan ta’liq muhaqiq atasnya]

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[Fathul Bari 2/446] : "Dalam "Al Mahamiliyat" dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya) : Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)".

Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka.

Imam Ahmad menyatakan : "Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)" [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]

Adapun ucapan selamat : (Kullu 'aamin wa antum bikhair) atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah (yang artinya) : "Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik.?"

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Berpenampilan indah di hari raya Ied

Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata (Yang artinya) : “ Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49]
Berkata Al-Allamah As-Sindi.
"Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata.
"Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]

Beliau juga menyatakan :
"Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].

Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan :
"Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".

Malik berkata :
"Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".

Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441).
"Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah (Lihat "Silsilah As-Shahihah 1279), namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman.

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Sunnahnya mandi sebelum sholat Ied

Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushalla tempat berkumpul manusia untuk sholat, di lapangan bila tidak hujan, red)" (Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi'i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih).

Imam Said Ibnul Musayyib berkata :
(Yang artinya) : “ Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]
Aku katakan : Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal demikian.

Berkata Imam Ibnu Qudamah :
"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul Mundzir" [Al-Mughni 2/370]

Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) (Ini diriwayatkan dalam 'Sunan Ibnu Majah' 1315 dan dalam isnadnya ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli hadits yang menganggapnya dusta (kadzab))

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Sunnahnya sholat Ied di tanah lapang

KELUAR MENUJU MUSHALLA
(Tanah Lapang Yang Digunakan Untuk Shalat Ied)

Dari Abu Said Al Khudri Radliallahu 'anhu, ia berkata : (Yang artinya) : “ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat ..." [Hadits Riwayat Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa'i 3/187]
Berkata Al-Alamah Ibnul Hajj Al Maliki :
"Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
(Yang artinya) : “ Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi -pen) lebih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Harram". [Hadits Riwayat Bukhari 1190 dan Muslim 1394]
Kemudian, walaupun ada keutamaan yang besar seperti ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap keluar ke mushalla (tanah lapang) dan meninggalkan masjidnya. [Al-Madkhal 2/283].

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan, [Al-Mughni 2/229-230] :
"Sunnah untuk melaksanakan shalat Id di tanah lapang, Ali Radliallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan dianggap baik oleh Al-Auza'i dan Ashabur Ra'yi. Inilah ucapan Ibnul Mundzir.” ( Untuk mengetahui dalil-dalil permasalahan ini secara mendetail, disertai bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihi, silakan merujuk pada tulisan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam "Syarhu Sunan Tirmidzi " (2/421-424). Dan Ustadz kami Al-Albani memiliki risalah tersendiri yang berjudul "Shalat Al-Iedain fii Mushalla Kharijal Balad Hiya Sunnah" cetakan Damaskus, silakan melihatnya, karena risalah tersebut sangat berharga.) [ ]

Siapa yang tidak mampu untuk keluar ke tanah lapang karena sakit atau umur tua, boleh shalat di masjid dan tidak ada dosa baginya Insya Allah. [Al-Mughni 2/229-230].

Di sini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan Shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat.

Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangannya mushalla (tanah lapang yang digunakan untuk shalat Id) meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh ulama. [Lihat Nihayah Al Muhtaj 2/375 oleh Ar-Ramli].

Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah untuk memecah belah persatuan kaum muslimin.

Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Mencari jalan yang berbeda dalam sholat Ied

MENGAMBIL JALAN YANG BERLAINAN KETIKA PERGI DAN KEMBALI DARI MUSHALLA

Dari Jabir bin Abdillah Radliallahu 'anhu, ia berkata : (Yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla-pen)" [Hadits Riwayat Bukhari 986].

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah :
"Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Beliau pergi ke mushalla melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan itu. Ada yang mengatakan : Agar mendapatkan barakahnya dua jalan yang berbeda. Ada pula yang mengatakan : Agar beliau dapat memenuhi hajat orang yang butuh pada beliau di dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi'ar Islam .... Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- : Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kosong dari hikmah". [Zadul Ma'ad 1/449].

Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas, beliau mengomentari : " Kalau pun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a'lam". [Raudlatuh Thalibin 2/77]. Lihat ucapan Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/314).


Dua Peringatan :

Pertama.
Berkata Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/302-303) : "Disunnahkan agar manusia berpagi-pagi (bersegera) ke mushalla (tanah lapang) setelah melaksanakan shalat shubuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir. Sedangkan keluarnya imam adalah pada waktu akan ditunaikannya shalat".

Kedua.
At-Tirmidzi meriwayatkan (530) dan Ibnu Majah (161) dari Ali Radliallahu 'anhu bahwa ia berkata : "Termasuk sunnah untuk keluar menunaikan shalat Id dengan jalan kaki". [Dihasankan oleh Syaikh kami Al-Albani dalam "Shahih Sunan Tirmidzi"].

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Tidak ada sholat Sunnah sebelum/sesudah sholat Ied

APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH SHALAT ID

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : (Yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at pada hari Idul Fithri, beliau tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya...." [Hadits Riwayat Bukhari 989, At-Tirmidzi 537, An-Nasa'i 3/193 dan Ibnu Majah 1291]
Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukan shalat (sunah) ketika tiba di tanah lapang sebelum shalat Id dan tidak pula sesudahnya"

Al-Hafidh Ibnu Hajar menyatakan (Fathul Bari 2/478)[ ] :
"Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat Id tidak ada shalat sunnah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. Berbeda dengan orang yang mengqiyaskannya (menyamakannya) dengan shalat Jum'at" [Lihat Syarhus Sunnah 4/316. 317]

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Sholat Ied tak perlu Adzan dan Iqomah

SHALAT ID TANPA AZAN DAN IQAMAH

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu ia berkata : (Yang artinya) : “ Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah" [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532].

Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhum berkata : (Yang artinya) : “ Tidak pernah dikumandangkan azan (untuk shalat Id -pent) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha" [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532]
Berkata Ibnul Qayyim :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila tiba di mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ucapan "Ash-Shalatu Jami'ah". Yang sunnah semua itu tidak dilakukan. [Zaadul Ma'ad 1/442]

Imam As-Shan'ani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini :
"Ini merupakan dalil tidak disyariatkannya azan dan iqamah dalam shalat Id, karena (mengumandangkan) azan dan iqamah dalam shalat Id adalah bid'ah" [Zaadul Ma'ad 1/442]

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Hukum sekitar Khutbah di Ied

KHUTBAH SETELAH SHALAT ID

Termasuk sunnah dalam khutbah Id adalah dilakukan setelah shalat. Dalam permasalahan ini Bukhari membuat bab dalam kitab 'Shahih'nya (Kitabul Iedain, bab nomor 8. Lihat Fathul Bari 2/453) [ ] : "Bab Khutbah Setelah Shalat Id".

Ibnu Abbas berkata : (Yang artinya) : “ Aku menghadiri shalat Id bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu 'anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah" [Riwayat Bukhari 963, Muslim 884 dan Ahmad 1/331 dan 346]
Ibnu Umar berkata :
(Yang artinya) : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar menunaikan shalat Idul Fithri dan Idul Adha sebelum khutbah" [Riwayat Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa'i 3/183, Ibnu Majah 1276 dan Ahmad 2/12 dan 38]
Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan ketika mengomentari bab yang dibuat Bukhari di atas (Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 79) [ ] :
"Yakni : Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang diamalkan Al-Khulafaur Rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum'at- merupakan perbuatan bid'ah yang bersumber dari Marwan" [Dia adalah Marwan Ibnul Hakam bin Abil 'Ash, Khalifah dari Banni Umayyah wafat tahun 65H, biografinya dalam 'Tarikh Ath-Thabari 7/34]

Berkata Imam Tirmidzi (Dalam Sunan Tirmidzi 2/411) [ ] :
"Yang diamalkan dalam hal ini di sisi ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka adalah shalat Idul Fithri dan Adha dikerjakan sebelum khutbah. orang pertama yang berkhutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Al-Hakam" [Lihat kitab Al-Umm 1/235-236 oleh Imam ASy-Syafi'i Rahimahullah dan Aridlah Al-Ahwadzi 3/3-6 oleh Al-qadli Ibnul Arabi Al-Maliki]


TIDAK WAJIB MENGHADIRI (MENDENGARKAN) KHUTBAH

Abi Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata :
(Yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fithri dan Adha. Maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia sedangkan mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau lalu memberi pelajaran, wasiat dan perintah" [Dikeluarkan oleh Bukhari 956, Muslim 889, An-Nasa'i 3/187, Al-Baihaqi 3/280 dan Ahmad 3/36 dan 54]
Khutbah Id sebagaimana khutbah-khutbah yang lain, dibuka dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Yang Maha Mulia.

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian untuk Allah. Tidak ada satu hadits pun yang dihafal (hadits shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri dan Adha dengan takbir. Adapaun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam 'Sunan'nya (Dengan nomor 1287, dan diriwayatkan juga oleh Al-Hakim 3/607, Al-Baihaqi 3/299 dari Abdurrahman bin Sa'ad bin Ammar bin Sa'ad muadzin. Abdurrahman berkata : "Telah menceritakan kepadaku bapakku dari bapaknya dari kakeknya ..." lalu ia menyebutkannya. Riwayat ini isnadnya lemah, karena Abdurrahman bin Sa'ad rawi yang dhaif, sedangkan bapak dan kakeknya adalah rawi yang majhul (tidak dikenal))[ ] dari Sa'ad Al-Quradhi muadzin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau memperbanyak bacaan takbir dalam khutbah dua Id, hal itu tidaklah menunjukkan bahwa beliau membuka khutbahnya dengan takbir" [Zadul Ma'ad 1/447-448]

Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah Id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk.

Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al-Bazzar meriwayatkan dalam "Musnad"nya (no. 53-Musnad Sa'ad) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan di antara keduanya dengan duduk.

Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib : "Haditsnya mungkar"

Maka khutbah Id itu tetap satu kali seperti asalnya.

Menghadiri khutbah Id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat, karena ada riwayat dari Abdullah bin Saib, ia berkata :
(Yang artinya) : “ Aku menghadiri Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai shalat, beliau bersabda : 'Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilah" [Diriwayatkan Abu Daud 1155, An-Nasa'i 3/185, Ibnu Majah 1290, dan Al-Hakim 1/295, dan isnadnya Shahih. Lihat Irwaul Ghalil 3.96-98]
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah (Zadul Ma'ad 1/448) [ ] :
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi yang menghadiri shala Id untuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi" [Lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 24/214].

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Sunnahnya makan di hari Ied

KAPAN DISUNAHKAN MAKAN PADA HARI IDUL FITRI DAN IDUL ADHA ?

Dari Anas Radliallahu anhu, ia berkata :
(Yang artinya) : “ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pergi (ke tanah lapang) pada hari Iedhul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma". [Hadits Riwayat Bukhari 953, Tirmidzi 543, Ibnu Majah 1754 dan Ahmad 3/125, 164, 232]
Berkata Imam Al Muhallab :
" Hikmah makan sebelum shalat (Idul Fithri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa hingga dilaksankan shalat Id, seolah-olah beliau ingin menutup jalan menuju ke sana" [Fathul Bari 2/447, lihat di dalam kitab tersebut ucapan penulis tentang hikmah disunahkannya makan kurma]

Dari Buraidah Radliallahu anhu ia berkata :
(Yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, sedangkan pada hari Raya Kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya" [Diriwayatkan Tirmidzi 542, Ibnu Majah 1756, Ad-Darimi 1/375 dan Ahmad 5/352 dan isnadnya hasan]
Al-Allamah Ibnul Qoyyim berkata :
"Adapun dalam Idul Adha, beliau tidak makan hingga kembali dari Mushalla, lalu beliau makan dari hewan kurbannya" [Zadul Ma'ad 1/441]

Al-Alamah Asy Syaukani menyatakan [Dalam Nailul Authar 3/357] :
"Hikmah mengakhirkan makan pada Idul Adha adalah karena hari itu disyari'atkan menyembelih kurban dan makan dari kurban tersebut, maka bagi orang yang berkurban disyariatkan agar berbukanya (makan) dengan sesuatu dari kurban tersebut. Ini dikatakan oleh Ibnu Qudamah" [Lihat Al-Mughni 2/371]

Berkata Az-Zain Ibnul Munayyir [Lihat Fathul Bari 2/448] : "Makanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masing-masing Id (Idul Fithri dan Idul Adha) terjadi pada waktu disyariatkan untuk mengeluarkan sedekah khusus dari dua hari raya tersebut, yaitu mengeluarkan zakat fithri sebelum datang ke mushalla dan mengeluarkan zakat kurban setelah menyembelihnya".

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Waktu Pelaksanaan Sholat Hari Raya Ied

Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : "Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih"( Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat. lihat Fathul Bari 2/457 dan An-Nihayah 2/331).

Ini riwayat yang paling shahih(Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq dalam shahihnya 2/456 dan Abu Daud meriwayatkan secara bersambung 1135, Ibnu Majah 1317, Al-Hakim 1/295 dan Al-Baihaqi 3/282 dan sanadnya Shahih) dalam bab ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.

Berkata Ibnul Qayyim :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit" [Zadul Ma'ad 1/442]

Shiddiq Hasan Khan menyatakan :
"Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahari" [Al-Mau'idhah Al-Hasanah 43,44]

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi :
Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri mereka" [Minhajul Muslim 278]

Peringatan :
Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya.

Abu Daud 1157, An-Nasa'i 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginya".

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Jumlah Khutbah dalam Shalat 'Ied

Apa praktek khutbah Id sama dengan praktek khutbah Jum’at atau tidak?
Zalmi
085223xxxxxx

Bismillah.
Permasalahan ini diperselisihkan oleh ulama. Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa khutbah Id hanya satu khutbah. Dan ini adalah pendapat Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan guru besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahumallah. Hal ini berdasarkan dzahir (yang terpahami secara langsung) dari hadits yang shahih dalam permasalahan ini, seperti hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يُصَلُّوْنَ الْعِيْدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhum melaksanakan shalat Id sebelum khutbah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan yang lebih jelas lagi adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, dia berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيْدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلىَ بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلىَ طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ - الحديث

“Aku menyaksikan shalat Id pada hari ‘Ied bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamat. Kemudian (seusai shalat) beliau berdiri bersandar pada Bilal radhiallahu ‘anhu (berkhutbah) memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menganjurkan kepada ketaatan, menasehati para shahabat dan memberi peringatan kepada mereka. Kemudian beliau mendatangi shaf para wanita, menasehati, dan memberi mereka peringatan.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengamati hadits-hadits muttafaq ‘alaih dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya, maka akan jelas baginya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan khutbah Id kecuali hanya satu khutbah. Hanya saja setelah beliau menyampaikan khutbah pertama, beliau mendatangi shaf para wanita dan menasehati mereka. Jika ini hendak kita jadikan sebagai dalil disyariatkannya dua khutbah, maka ada kemungkinan. Akan tetapi tetap tidak bisa dibenarkan, karena beliau mendatangi shaf wanita dan berkhutbah di hadapan mereka disebabkan salah satu dari dua kemungkinan:
1. Karena khutbah yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh mereka
2. Atau khutbah tersebut terdengar sampai ke tempat mereka, akan tetapi beliau ingin memberikan nasehat-nasehat khusus kepada mereka.” (Asy-Syarhul Mumti’, 5/191-192, cet. Muassasah Asam)
Beliau juga berkata dalam Majmu’ Rasa‘il (16/248): “Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada khutbah Id adalah satu khutbah. Jika seorang (khatib) berkhutbah melalui mikrofon (pengeras suara), maka hendaklah dia mengkhususkan kaum wanita di akhir khutbahnya dengan nasehat tentang mereka. Dan apabila dia berkhutbah tanpa pengeras suara dan para wanita yang hadir tidak mendengar khutbahnya, maka hendaklah dia mendatangi shaf mereka untuk memberi nasehat khusus, didampingi oleh satu atau dua orang.”
Apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullahu bahwa hendaklah dia mendatangi shaf para wanita untuk memberi nasehat khusus... dst, tentunya jika tidak dikhawatirkan adanya mafsadah dan fitnah terhadap diri sang khatib atau para wanita yang hadir atau yang lainnya. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim (6/144) dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/305). Dan kekhawatiran tersebut sangat besar pada kondisi dan keadaan kaum muslimah di negeri ini, yang mana mereka menghadiri Id tanpa memakai hijab yang syar’i. Mereka mengenakan ‘busana-busana muslimah’1 yang menarik perhatian lelaki. Ditambah lagi aroma parfum-parfum mereka yang membangkitkan syahwat. Wajah-wajah mereka penuh polesan make up yang mempesona. Wa ilallahil musytaka (hanya Allah-lah tempat mengadu).
Sesungguhnya ada beberapa hadits yang menunjukkan dua khutbah, tetapi semuanya dha’if (lemah):
1. Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah ‘Ied dengan berdiri kemudian beliau duduk lalu berdiri kembali (untuk khutbah kedua), diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1289). Namun pendalilan ini tertolak, karena haditsnya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi yang dha’if bernama Isma’il bin Muslim Al-Makki. Bahkan hadits ini dihukumi mungkar oleh Al-Albani dalam Dha’if Ibnu Majah. Karena riwayat yang benar dari hadits tersebut adalah bahwa itu pada khutbah Jum’at.
2. Hadits Sa’d bin Abi Waqqash, diriwayatkan oleh Al-Bazzar. Hadits ini sangat dha’if, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat dha’if bernama Abdullah bin Syabib, syaikh (guru) Al-Bazzar. Lihat Tamamul Minnah (348).
3. Hadits ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah rahimahullahu, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (1/272). Hadits ini juga sangat lemah, karena syaikh Asy-Syafi’i yang bernama Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami matruk (ditinggalkan haditsnya karena tertuduh sebagai pendusta). Juga ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah seorang tabi’in, sehingga terputus sanadnya antara dia dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti hadits ini mursal dha’if.
Jadi hadits-hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengatakan bahwa khutbah ‘Ied adalah dua khutbah. Demikian pula, tidak benar berdalil meng-qiyas-kan (menyamakan) dengan khutbah Jum’at, karena bertentangan dengan dzahir hadits-hadits yang shahih sebagaimana telah diterangkan di awal pembahasan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Menurut istilah mereka, sebagai hasil bisikan setan untuk memperdaya putri-putri Adam ‘alaihissalam.



KHUTBAH JUM’AT HARUS BERBAHASA ARAB?

Assalamua’laikum Saya mau tanya masalah khutbah Jum’at, apakah harus memakai bahasa Arab? Karena setahu saya khutbah itu pengganti dua rakaat.
Abdullah
apt…@tm.net

Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan dipersyaratkan untuk memakai bahasa Arab, namun alasannya bukanlah karena khutbah adalah pengganti dua rakaat. Melainkan dalam rangka kelestarian khutbah yang berbahasa Arab, karena inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidun sepeninggal beliau. Oleh karena itu harus mencontoh khutbah mereka dan ini harus dijaga, sehingga sebagian ulama mempersyaratkan hal ini.
Namun jika kita memperhatikan dalil ini, toh kalau ada yang beralasan harus berbahasa Arab karena khutbah itu sebagai pengganti dua rakaat, semuanya ini adalah lemah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah menggunakan bahasa Arab, demikian juga Al-Khulafa` Ar-Rasyidun sepeninggal beliau, karena mereka adalah bangsa Arab dan mereka berkhutbah di hadapan kaum muslimin yang berbangsa Arab, yang merupakan bahasa mereka. Sementara tujuan khutbah adalah memberikan nasehat yang bermanfaat bagi agama mereka. Tentunya, suatu hal yang kita pahami dalam kaidah syariat ini adalah: suatu wasilah memiliki hukum sesuai dengan hukum dari tujuan yang hendak dicapai dengan wasilah itu. Ketika tujuannya adalah memberikan nasehat, maka nasehat ini tidak akan tersampaikan kecuali dengan bahasa yang mereka pahami. Sehingga mereka memakai bahasa Arab, karena itu adalah bahasa mereka.
Itulah sebabnya para nabi dan rasul diutus sesuai dengan bahasa kaum mereka. Setiap nabi dan rasul yang diutus, yang diturunkan wahyu kepada mereka, menyampaikan syariat sesuai dengan bahasa kaum tersebut. Karena kalau berbeda dengan bahasa kaum tersebut, tujuan diutusnya mereka dan tujuan dakwah tidak tercapai karena tidak dipahami. Ini yang pertama.
Yang kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin berbahasa Arab, hal ini merupakan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kaidah ushul fiqih, puncaknya hanya menunjukkan istihbab dan tidak sampai menunjukkan wajib, apalagi sebagai suatu syarat. Sementara di sini tidak ada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa khutbah tidak sah kecuali dengan bahasa Arab.
Adapun pernyataan bahwa khutbah adalah pengganti dua rakaat, ini adalah pendapat yang batil. Memang ada ulama yang berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang batil. Di kalangan Asy-Syafi’yyah pun, sebagaimana dikatakan An-Nawawi dalam Al-Majmu’, yang shahih adalah bahwa dua khutbah bukan pengganti dua rakaat shalat dzuhur, dan shalat Jum’at bukanlah shalat dzuhur yang diqashar menjadi dua rakaat dan diganti dengan dua khutbah. Demikian pula yang diterangkan oleh Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim dan yang lainnya. Dan yang membuktikan khutbah Jum’at bukanlah pengganti dua rakaat, adalah hadits:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat (bersama dengan imam dalam shalat jamaah) maka dia dianggap mendapat shalat itu secara utuh.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dan shalat Jum’at masuk dalam keumuman hadits ini.
Ada juga riwayat yang lain, meskipun ada pembicaraan, namun Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمُعَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum’at berarti dia mendapat shalat Jum’at secara utuh.”
Bila riwayat ini tidak shahih, hadits yang sebelumnya sudah cukup, dan itulah yang dipegangi para ulama.
Makna hadits tersebut adalah apabila seorang datang terlambat dan mendapati imam sudah dalam rakaat kedua, tapi masih sempat mendapatkan berdiri bersama imam pada rakaat kedua sebelum ruku’, atau minimal dia sempat ruku’ bersama imam pada rakaat yang kedua, maka dia dianggap mendapatkan shalat Jum’at, sehingga tinggal menambah satu shalat setelahnya. Jadi, dia dianggap mendapatkan shalat Jum’at padahal dia tidak hadir khutbah. Bila khutbah adalah pengganti dua rakaat, maka mestinya dia dianggap tidak ikut shalat Jum’at, karena tidak ikut khutbah. Bahkan hanya mendapatkan satu rakaat bersama imam. Padahal dalam hadits ini, satu rakaat saja yang dia dapatkan, sudah dianggap mendapatkan shalat Jum’at, bukannya shalat Dzuhur. Ini menunjukkan khutbah bukanlah pengganti dua rakaat.
Adapun atsar dari ‘Umar bin Al-Khaththab bahwa khutbah Jum’at adalah kedudukannya seperti dua rakaat shalat Dzuhur –merupakan pengganti dua rakaat– merupakan atsar yang lemah karena terputus jalur periwayatannya antara orang yang meriwayatkan dari ‘Umar dengan ‘Umar. Karena orang yang meriwayatkan dari ‘Umar tidaklah mendengar riwayat dari ‘Umar, sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang dinyatakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan ulama yang lain bahwa khutbah Jum’at tidaklah dipersyaratkan memakai bahasa Arab. Bahasa yang digunakan dalam khutbah Jum’at mengikuti bahasa jamaah yang mendengarkan khutbah. Apabila seseorang berkhutbah di hadapan jamaah yang berbahasa Indonesia, maka yang diharuskan baginya adalah berkhutbah dengan bahasa Indonesia. Demikian pula seandainya di hadapan jamaah yang berbahasa Inggris, maka ia memakai bahasa Inggris. Kecuali jika dia menyebutkan ayat Al-Qur’an maka dia membacanya dengan bahasa Arab. Kalau dia menterjemahkannya saja tidaklah dianggap membaca Al-Qur’an, karena Al-Qur’an berbahasa Arab. Sehingga bila hanya membaca terjemahannya berarti bukan membaca Al-Qur’an.
Alasan yang menunjukkan bahwa ini adalah pendapat yang benar sudah kita terangkan di depan; bahwa tujuan khutbah adalah memberi mau’izhah/memberi nasehat tentang agama. Dan nasehat tidak mungkin tersampaikan kalau menggunakan bahasa Arab, karena mereka tidak mengerti sama sekali bahasa Arab sehingga khutbah itu tidak bermanfaat. Wallahu a’lam.



TAUBAT DARI PERBUATAN ZINA

Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertaubat. Pertanyaan:
a. Bagaimana taubatnya?
b. Haruskah keduanya menikah?
c. Bagaimana kalau orang tua wanita tetap tidak setuju?
d. Bagaimana nanti status anak keduanya?
Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.
Ahmad Abdullah
ahm…@plasa.com

Cara Taubatnya
Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pertama, Keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat.”1
Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan.
Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/ bercampurbaur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.
Ketiga, kemudian keduanya ber-’azam/ bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.2

Haruskah Keduanya Menikah?
Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.
Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.
Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الزَّانِي لاَ يَنْكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3)
Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.

Bagaimana Status Anak Keduanya?
Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan. Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisi. Juga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote:
1 HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (4252).
2 HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (1021).

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari. Judul asli "Jumlah Khutbah dalam Shalat 'Ied". Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=376)

Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di Hari Raya

Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya].

Diantara kemungkaran itu adalah :

Pertama : Berhias dengan mencukur jenggot
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat yang telah dikenal [Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza'ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya "Adillah Tahrim Halqil Lihyah" hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia kemenyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga "Majallah Al-Azhar" 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul "Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin" -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.] Hendaklah hal itu diketahui.

Kedua : Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya

Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “ Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku. Diriwayatkan ar Rauyaani dalam musnadnya 227/2 dari Ma’qil bin Yasaar dan sanadnya jayyid lihat Silsilah Ahadits ash Shohihah karya Al Albani no 226]

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

Ketiga : Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam berpakaian dan mendengarkan alat-lat musik serta perbuatan mungkar lainnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya) : “ Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" [Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya) : “ Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat" [Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma'ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua'im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan. Sabdanya, al Hira ialah al Faraj (kemaluan), maksudnya perzinaan. AL Ma’azif, Ibnu Atsir dalam an Nihayah 3/230 menjelaskan al Azf bermakna memainkan alat musik, yaitu rebana dan selainnya yang dipukul. Berkata adz Dzahabi (at Tadzkirah 4/1337) : Al Maazif ialah nama untuk semua yang dibunyikan seperti gendang dan lain-lain dari peralatan musik. Lihat Ta’liq yang sebelumnya. Sabdanya, ‘alamun ialah puncak gunung. Sabdanya Bisaarihatin, ialah hewan ternak yang keluar pada pagii hari ke pemiliknya. Fayubayituhum, yaitu dibinasakan. Yadah’ul Alam : menghancurkan mereka. Lihat Tahtim an Nard wasy Syathranji wal Malaahi, oleh al Ajurri (292-299), penting !!!]

Keempat : Masuk dan becengkerama dengan wanita-wanita yang bukan mahram.

Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau (yang artinya) : “ Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita". Maka berkata salah seorang pria Anshar : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu" Beliau berkata : "Al-Hamwu adalah maut" [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir].

Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan "Al-Hamwu"

"Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti ayah[Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur'anul Karim, lihat "Al-Mughni" 6/570], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka... Dan sabda beliau : "Al-Hamwu adalah maut" maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan "Al-Hamwu adalah mau" merupakan do'a kejelekan, yaitu seakan-akan kematian itu darinya, kedudukannya seperti ipar yang masuk menemuinya, jika ia meridhainya dengan itu" ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]

Kelima : Wanita-wanita yang bertabarruj (berdandan memamerkan kecantikan) kemudian keluar ke pasar-pasar atau tempat lainnya.

Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari'at Allah. Allah Ta'ala berfirman :
(yang artinya) : “ Hendaklah mereka wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat" [Al-Ahzab : 33]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : ........ dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, "An-Nihayah" 4/382], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[Berkata Al-Qadli 'Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a'lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian" [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]

Keenam : Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya, membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]

Ketujuh : Boros dalam membelanjakan harta yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada kebaikan padanya.

Allah berfirman (yang artinya) : “ Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al-An'am : 141]
(yang artinya) : “ Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan" [Al-Isra : 26-27]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang ... dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan" [Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas'ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Barzah di sisi Ad-Darimi (1/131), Abu Nua’im dalam al Hulyah (10/232), Ibnu Ad Daibsyi dalam Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu'adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.]

Kedelapan : Kebanyakan manusia meninggalkan shalat berjama'ah di masjid tanpa alasan syar'i atau mengerjakan shalat Id tetapi tidk shalat lima waktu. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar.

Kesembilan : Berdatangannya sebagian besar orang-orang awam ke kuburan setelah fajar hari raya, mereka meninggalkan shalat Id, dirancukan dengan bid'ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]

Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma'alimus Sunan 1/27 dan ta'liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.

Kesepuluh : Tidak adanya kasih sayang terhadap fakir miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “ Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya" [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]

Kesebelas : Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta'ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah. Bid'ah itu banyak sekali dilakukan muslimin [Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A'yadul Islam 58 pasal Bida'ul Iedain]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
(yang artinya) : “ Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati" [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]

Maka tidak boleh menyandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ucapan tersebut. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup'." [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]

Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
"Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
"Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: 'Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan

"Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu."

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun."

Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)


Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"

Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)