Tampilkan postingan dengan label Ramadhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ramadhan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 September 2009

Umar Bin khotob Shalat Tarawih 11 Rakaat

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani



Telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa semenjak kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat Radhiyallahu ‘anhum terus menjalankan shalat tarawih dengan berpencar-pencar dan bermakmum kepada imam yang berbeda-beda [1]

Itu terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan di awal kekahlifahan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudan akhirnya Umar bin Al-Khattab menyatukan mereka untuk bermakmum kepada satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qariy berkata :

“Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab menunju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya, beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar :

“Sebaik-baik bid’ah, adalah seperti ini”.

Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang”

Yang beliau maksudkan yaitu mereka yang shalat di akhir waktu malam. Sedangkan orang-orang tadi shalat di awal waktu malam”

Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha (I : 136-137), demikian juga Al-Bukhari (IV : 203), Al-Firyabi (II : 73, 74 : 1-2). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (II : 91 : 1) dengan lafazh yang mirip, namun tanpa ucapan beliau : “sebaik-baiknya bid’ah, ya yang seperti ini”. Demikian juga Ibnu Sa’ad (V : 42) dan Al-Firyabi dari jalur lain (74 : 2) meriwayatkannya dengan lafazh : “kalau yang seperti ini dianggap bid’ah, maka sungguh satu bid’ah yang amat baik sekali”. Para perawinya terpercaya, kecuali Naufal bin Iyyas. Imam Al-Hafizh mengomentarinya dalam “At-Taqrib” ; “Bisa diterima”, maksudnya apabila diiringi hadits penguat, kalau tidak, maka tergolong hadits yang agak lemah. Begitu penjelasan beliau dalam mukaddimah buku tersebut.

Perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama belakangan ini, cukup dikenal penggunaan ucapan Umar diatas, yaitu ucapan beliau : “Sebaik-baiknya bid’ah …. “ sebagai dalil dalam dua perkara :

Pertama
Berjama’ah dalam shalat tarawih adalah bid’ah yang tidak penah ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Persepsi ini jelas amatlah keliru, tidak perlu banyak dikomentari karena sudah demikian jelasnya. Sebagai dalilnya, cukup bagi kita hadits-hadits terdahulu ; yaitu yang mengkisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan manusia kala itu dalam tiga malam bulan Ramadhan. Kalaupun akhirnya beliau meninggalkan berjama’ah, semata-mata hanya karena takut dianggap wajib.

Kedua.
Bahwa diantara bid’ah itu ada yang terpuji. Dengan (ucapan Umar) tadi, mereka mengkhususkan keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah itu adalah sesat”. Dan juga hadits-hadits lain yang sejenis. Pendapat ini juga bathil ; hadits tersebut harus diartikan dengan keumumannya, sebagaimana yang dijelaskan nanti dalam tulisan khusus mengenai bid’ah, insya Allahu Ta’ala. Adapun ucapan Umar : Sebaik-baik bid’ah, adalah yang seperti ini”, yang beliau maksudkan bukanlah bid’ah dalam pengertian istilah; yang berarti : Mengada-ada dalam menjalankan ibadah tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bid’ah adalah dalam salah satu pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama’ah belumlah dikenal dan belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar sendiri Radhiyallahu anhuma –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian begini, ia memang bid’ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid’ah. Hanya dengan alasan itulah beliau memberikan tambahan kata “baik”. Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan :

“Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”. As-Subki menyatakan.

“Kalau melakukan tarawih berjama’ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid’ah yang tercela ; sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya’ban, atau di Jum’at pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjama’ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam”.

Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan.

“Mengeluarkan orang-orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent) adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak termasuk katagori bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan ucapan Umar berkenaan dengan tarawih : “Sebaik-baiknya bid’ah…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah : “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul…” [Al-Ahqaf : 9]

Jadi yang dimaksud bukanlah bid’ah secara istilah. Karena bid’ah secara istilah menurut syari’at adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka bagi hanyalah bid’ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid’ah itu sesat maksudnya adalah bid’ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dan juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di Masjidil Haram), atau shalat seusai sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ; sementara mengamalkannya menjadi bid’ah yang tercela. Maka seperti : Mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam konteks pembicaraan kita tentang “yang mungkin” dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena adanya penghalang seperti shalat tarawih berjama’ah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang pasti [2], berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut. [3]

UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHU MEMERINTAHKAN MANUSIA UNTUK SHALAT 11 RAKA’AT

Adapun perintah Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk didirikannya tarawih 11 raka’at, adalah berdasarkan apa yang diriwayatkan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (I : 137) (dan No. 248), dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid bahwasanya beliau menuturkan.

“Umar bin Al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia (shalat tarawih) 11 raka’at”. Beliau melanjutkan : “Dan kala itu, seorang qari/imam biasa membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bertelekan pada tongkat kami karena terlalu lama berdiri. Lalu kami baru bubar shalat menjelang fajar”.

Saya katakan : Derajat sanad hadits ini shahih sekali. Sesungguhnya Muhammad bin Yusuf, syaikh/guru Imam Malik adalah orang yang terpercaya berdasarkan kesepakatan ahli hadits. Beliau juga dijadikan hujjah oleh Al-Bukhari dan Muslim. Sedangkan As-Saib bin Yazid adalah seorang shahabat yang ikut berthaji bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau masih kecil. Lalu dari jalur sanad Imam Malik juga, Abu Bakar An-Naisaburi mengeluarkan hadits itu dalam “Al-Fawaid” (I : 153), Al-Firyabi (75 : II-76 : I) dan Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubra” (I : 196)

Riwayat Malik tentang tarawih 11 raka’at tadi diiringi dengan penguat dari Yahya bin Sa’id Al-Qatthan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al-Mushannaf” (II : 89 : 2), juga dengan riwayat dari Isma’il bin Umayyah, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Ishaq oleh Imam An-Naisaburi ; juga dengan riwayat Ismail bin Ja’far Al-Madani oleh Ibnu Khuzaimah dalam hadits Ali bin Hajar (IV : 186 : 1). Mereka semua mengatakan : Dari Muhammad bin Yusuf dengan lafazh tadi, kecuali Ibnu Ishaq, beliau mengatakan : “Tiga belas raka’at” demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashar dalam ‘Qiyamu Al-Lail” (91), dan beliau menambahkan:

“Ibnu Ishaq menyatakan : “Tidak pernah aku mendengar dalam masalah itu (yakni bilangan raka’at tarawih pada bulan Ramadhan) riwayat yang lebih shahih dan lebih meyakinkan daripada hadits As-Saib. Yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakannya pada malam hari 13 raka’at”.

Saya katakan : Jumlah bilangan 13 raka’at ini, hanya diriwayatkan secara menyendiri oleh Ishaq. Dan riwayat itu, bersesuaian dengan riwayat lain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha tentang shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain, bahwa termasuk dalam yang 13 rakaat itu dua rakaat sunnah fajar, sebagaimana dalam komentar sebelumnya. Hadits Ibnu Ishaq inipun bisa dipahami dengan cara itu sehingga menyepakati riwayat jama’ah

Dari penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa ucapan Ibnu Abdil Barr : “saya tidak pernah mendengar seorangpun yang mengatakan 11 raka’at, kecuali Imam Malik ; adalah ucapan yang jelas keliru. Al-Mubarakfuri mengomentari dalam “Tuhfatul Ahwadzi (II : 74) : “itu adalah dugaan yang bathil”. Oleh sebab itu, Az-Zarqani juga menyanggahnya dalam “Syarhu Al-Muwattha (I : 25)” dengan ucapannya : “Hal itu tidak sebagaimana yang diucapkannnya (Ibnu Abdil Barr), karena dari jalur sanad yang lain Ibnu Manshur meriwayatkan juga dari Muhamamd bin Yusuf : “11 raka’at”, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik”.

Saya mengatakan : Derajat sanad hadits ini sungguh amat shahih, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam As-Suyuthi dalam “Al-Mashabih”, (riwayat) ini saja sudah cukup untuk menyanggah pernyataan Ibnu Abdil Barr. Bagaimana lagi kalau digabungkan dengan beberapa riwayat penguat lainnya yang –saya lihat- tidak seorangpun yang mendahului saya dalam mengumpulkan riwayat-riwayat itu. Wal hamdulillah ‘ala taufiqihi.

[Disalin dari kitab Shalatu At-Tarawih, Edisi Indonesia Shalat Tarwih, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani, Penerbit At-Tibyan]
_________
Foote Note
[1]. Saya katakan : “Demikianlah kondisi yang terjadi di masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengimami mereka selam tiga malam. Kemudian beliau meninggalkannya karena takut dianggap wajib atas mereka sebagai hadits Aisyah terdahulu. Sehingga kembalilah kaum muslimin kepada kebiasaan semula, hingga Umar mengumpulkan mereka. Semoga Allah mengganjarinya dengan kebaikan atas jasa beliau terhadap Islam. Ibnu At-Tiien dan yang lainnya berkata : “Umar bin Al-Khattab mengambil kesimpulan, denghan ketetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan keabsahan shalat orang-orang yang bermakmum kepada beliau pada beberapa malam itu. Kalaupun ada yang beliu benci, hanya sebatas karena beliau khawatir akhirnya menjadi wajib atas mereka. Inilah yang menjadi rahasia kenapa Al-Bukhari mengutip hadits Aisyah yang terdahulu sesudah hadits Umar. Setelah nabi meninggal, kekhawitran itu sudah tidak berlaku lagi. Umar lebih mengutamakan kesimpulan demikian, karena berpencar-pencarnya kaum muslimin dapat menimbulkan perpecahan. Dan juga karena berjama’ah dengan satu imam itu lebih membawa semanngat bagi banyak orang yang shalat …. Dan terhadap ucapan Umar itu, mayoritas umat lebih cenderung …” [Fathul Bari IV : 203-204]
[2]. Yang dimaksud dengan kemungkinan yang pasti : Adalah ketidak adaan penghalang itu sendiri. Contohnya shalat tarawih berjama’ah. Kemungkinan untuk melaksanakan perbuatan itu ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ada penghalangnya, yaitu takut dianggap wajib. Maka pada saat itu, kemungkinannya tidaklah pasti.
[3]. Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24


Ringkasan ragam sholat Tarawih & qunut witir Rasulullah

Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani

Saya (Syaikh Al-Albani) telah menjelaskan perinciannya dalam kitab saya yang lain “Shalat Tarawih” (hal.101-105), kemudian saya disini hendak meringkasnya untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.

Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.

Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.

Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.

Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.

Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.

Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.

Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].

Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .

Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).

Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih).

Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
"اللهم اهد تي فيمن هديت, وعا قني قيمن عا فيت, وتولني فيمن توليت, وبا رك لي فيما اعطيت, وقني شر ما قضيت, فاءنك تثضي ولايقضى عليك, وانه لايد ل من واليت, ولا يعزمن عا ديت, تبا ركت ربنا وتعا ليت, لامنجا منك الا اليك."
“Ya Allah berilah aku hidayah, termasuk pada orang yang Engkau beri hidayah, dan berilah aku keselamatan, dan orang yang Engkau anugrahi keselamatan dan perbaikilah urusanku, termasuk dalam orang yang Engkau perbaiki urusannya, dan berkahilah aku pada apa yang Engkau anugerahkan kepadaku, dan hindarkan aku dari kejahatan apa yang Engkau putuskan, sungguh Engkaulah yang memutuskan dan bukan diputuskan, dan sungguh tidak akan hina orang yang Engkau tolong serta tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada diri-Mu”. (Riwayat Abu Dawud, Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. lihat “Sifat Shalat Nabi” hal: 95-96 cet. ke-7).

Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصد ون عن سبيلك ويكذ بون رسلك, ولا يؤمنون بوعد ك, وخا لف بين كلمتهم, واًلق في قلوبهم الرعب, واًلق عليهم رجزك وعذا بك, اله الحقز"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”

Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
" اللهم اياك نعبد, ولك نصلي ونسجد, واليك نسعى ونحفد, ونرجورحمتك ربنا, ونخاف عذابك الجد, ِان عذابك لمن عاديت ملحق"
“Ya Allah! Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud. Hanya kepada-Mu kami menuju dan menyegerakan langkah kami Kami mengharap rahmat-Mu wahai Tuhan kami dan kami takut adzab-Mu yang sangat. Sesungguhnya adzab-Mu akan mengenai orang yang memusuhi-Mu.”

Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).

Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
"اللهم اني اعوذ بر ضاك من سخطك ومعا فاتك من عقوبتك, واعوذبك منك لااَ حصي ثناء عليك انت كما اثنيت عالى نفسك "
“Ya Allah ! Sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemungkaran-Mu dan (aku berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari (siksaan-Mu). Aku tidak mampu menghitung pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau puji diri-Mu.” (Shahih Abi Dawud (1282) dan Al-Irwa’ no :430)

Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
"سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس."
“Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci,” dengan memnjangkan serta mengeraskan suaranya saat mengucapkan yang ketiga kalinya.” (Shahih abi Dawud no:1284).

Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا " “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )

Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)

Catatan redaksi:
Simak artikel kami berjudul "Lagi, bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail & ragam raka'atnya", yang bersumber dari kitab "Shalatut Tarawih, disana disertakan dalil-dalil ragam sholat Tarawih Rasulullah diatas yakni di alamat http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=752.

(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)

Bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail

Penulis: AL Ustadz Zuhair Syarif

Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.

Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal. 14)

Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)

Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.

Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.

Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).

Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.")

Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).

Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!" Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).

Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.

Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."

Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."

Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).

Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)

Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."

Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)

Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita Sulaiman
bin Abi Khatsmah.

Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan."

Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.

Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)

2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."

Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.

Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."

Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."

Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.

Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."

Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."

Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!"

Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla' setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di atas."

Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.

Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah."

Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."

Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di antaranya dua rakaat fajar."

Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.

Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya."

Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."

Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah."

Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)

Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."

Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".

Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)

Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).

Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."

Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.

Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.

Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam."

Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."

Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)

Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).

Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.

Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.

QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)

Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....

Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan.

Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)

Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani).

Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.

Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)

Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)

Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka."

Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).

Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.

Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)

Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)

Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.

Wallahu `alam bisshawab.

Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)

Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam

Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)

b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)

Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.

c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.

Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.

Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).

Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.

Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.

Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.

Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.

Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.

Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.

Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."

Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.

Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.

Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.

Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.

Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.

Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.

Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat."

Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.

Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat

Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.

Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.

Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.

Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.

Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).

Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.

Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.

(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)

Bantahan Tarawih 20 rakaat

Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Shalat Tarawih Bersama Rasulullah

Mukadimmah
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memujinya, memohon pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan diri-diri kita dan amal-amal kita.

Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tidak yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya.
Amma ba’d :

Telah terdapat riwayat shahih yang mauquf atas sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu akan tetapi secara hukum marfu’ (sampai kepada) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, bahwa beliau (Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) mengatakan : “Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat besar anak kecil menyelimuti kalian, bahkan manusia menjadikannya sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya. Maka akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?” Mereka mengatakan : “ Kapan itu ?”. “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al-Qu’ran semakin, banyak ahli fiqih semakin sedikit, semakin banyak pimpinan kalian, semakin sedikit orang yang jujur, dan dicari manfaat dunia dengan menggunakan amalan akhirat dan dipelajari selain agama”.”( Riwayat ad Darimi 1/64 dengan dua sanad salah satunya shahih dan yang lain hasan, juga Hakim 4/514 dan lainnya)

Saya (Syaikh Albani) berkata : “Hadist ini termasuk tanda-tanda kenabian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan kebenaran risalahnya, karena setiap point dari point-pointnya telah terwujud saat ini. Di antaranya, menyebarnya bid’ah dan manusia terfitnah olehnya sehingga menganggap bid’ah sebagai Sunnah dan menjadikannya sebagai agama yang dianut. Jika ahlusSunnah meninggalkannya kepada Sunnah yang benar-benar jelas dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?”.

Inilah yang menimpa kami ahlussunah di Syam. Ketika kami menghidupkan Sunnah shalat tarawih sebelas rakkat dengan menjaga ketenangan dan kekhusyuan dan berbagai dzikir yang didapat dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semampunya, suatu perkara yng telah ditinggalkan oleh mayoritas orang-orang yang tetap shalat dengan dua puluh rakaat. Akan tetapi mereka tetap berontak, dan bangkit qiyamat mereka ketika kita terbitkan buku kita yang berjudul “Shalatut Tarawih” [Telah dicetak ulang buku ini dengan cetakan kedua oleh Zuhair Syawisy tahun 1405 H, dengan bentuk huruf yang baru akan tetapi percobaan-percobaannya tidak disodorkan kepada saya untuk saya teliti sendiri, hal itu disebabkan sulitnya komunikasi antara Beirut dan Oman, sehingga terdapat sedikit kesalahan cetak, sebagiannya karena mengikuti cetakan yang pertama diantaranya yang ada pada hal (32) dan pada cetakan pertama pada hal (37) – yang berbunyi, pent seperti :”yang shalat dhuhur 5 rakaat dan Sunnah fajar 4 rakaat” yang benar adalah “shalat Sunnah Dhuhur” dengan dalil, kata yang mengikutinya “dan surah Fajar” dan kata-kata yang mendahuluinya serta kontek kalimatnya. Dan telah memperalat kesalahan cetak ini sebagian ahlil-bid’ah, lalu mendirikan diatasnya istana-istana mereka dalam buku-buku mereka yang akan dusebut nanti, akan tetapi istana mereka itu diatas bibir jurang yang terpuruk.] yang itu merupakan buku kedua dari silsilah buku kita “Tasdidul ishabah ila man zaa’ma nusratal hulafa’ur Rasyidin wa shahabah”, karena apa yang mereka lihat didalamnya dari hakekat beberapa hal :
1. Bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak shalat tarawih lebih dari 11 rakaat.
2. Bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay radhiyallahu ‘anhu dan Tamim ad Dary radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami manusia di bulan Ramadhan dengan 11 rakaat sesuai Sunnah yang shahih.
3.Bahwa riwayat : “Sesungguhnya manusia melakukan shalat tarawih di masa Umar di bulan Ramadhan 20 rakaat adalah riwayat lemah”, syadz yakni menyelisihi riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (terpercaya) yang mengatakan : “11 rakaat dan bahwa Umar memerintahkan dengannya”.
4. Bahwasanya riwayat yang syadz tersebut seandainya benar, maka mengambil riwayat yang shahih adalah lebih baik karena sesuainya dengan Sunnah dari sisi jumlah, dan tidak didapati pada riwayat itu bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat 20 rakaat, orang-orang saja yang melakukan itu, berbeda dengan riwayat yang shahih, karena didalamnya terdapat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat dengan 11 rakaat.
5. Juga seandainya benar, tidak berarti kemudian harus mengamalkannya, dan meninggalkan amalan dari riwayat yang shahih yang sesuai dengan Sunnah, dimana yang mengamalkan Sunnah justru dianggap keluar dari jamaah. Bahkan puncak faedah yang ingin didapatkan dari riwayat itu adalah dibolehkannya 20 rakaat dengan pasti dan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah lebih utama.
6. Kami telah terangkan juga didalamnya bahwa 20 rakaat tersebut tidak didapatkan dari seorangpun shabat yang mulia satupun.
7. Bathilnya sangkaan bahwa mereka (shahabat -pent) telah bersepakat atas 20 rakaat.
8. Kami terangkan pula dalil yang mewajibkannya selalu melakukannya dengan jumlah yang terdapat dalam Sunnah, dan kami terangkan juga bahwa para ulama yang mengingkari penambahan dari jumlah tersebut, dan lain-lain dari faedah-faedah yang jarang didapatkan terkumpul dalam satu kitab.

Semua itu dengan dalil-dalil yang jelas dari Sunnah yang shahih dan dari atsar (ucapan aau perbuatan salafush shalih- pent) yang dipercaya. Ini merupakan perkara yang menyebabkan sikap berontak membabi-buta dari sekelompok syaikh ahli taqlid, sebagaimana didapati dalam khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka, sebagiannya lagi dalam buku-buku yang mereka tulis untuk membantah buku kami terdahulu. Tapi semuanya kosong dari ilmu yang bermanfaat dan hujah yang mendasarinya. Bahkan buku itu dicorat-coret dengan celaan dan cercaan sebagaimana kebiasaan orang-orang yang salah ketika berontak terhadap kebenaran dan para pengikutnya.

Oleh karenanya kami tidak melihat adanya faedah yang besar dengan menghabiskan waktu kita untuk membantah mereka, dan menerangkan cacatnya ucapan mereka, karena umur ini terlalu pendek untuk membahas panjang lebar (masalah tersebut –pent) karena terlalu banyaknya. Semoga Allah memberi hidayah-Nya kepada mereka semuanya. Dan tidak mengapa kita memberikan contoh asal hal itu dengan salah satu dari mereka. Dia menurutku adlah lebih afdhal dan paling berilmu[Yaitu syaikh Ismail Al-Anshary salah seorang pegawai di kantor fatwa di kota Riyadh.]

Akan tetapi ilmu, jika tidak disertai dengan keikhlasan akhlaq yang suci, mudharatnya atas orangnya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana diisyaratkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Permisalan orang yang mengajarkan manusia kebaikan dan melupakan dirinya seperti lentera yang menerangi orang lain tapi membakar dirinya”. (Riwayat Thabrany dan Ad Dhiya’ al Maqdisi dalam kitab Al-Mukhtarah” dari sahabat Jundub dengan sanadnya yang bagus, lihat (shahih Targhib 1/56/127) ).

Orang tersebut telah menulis sebuah buku yang berjudul ”Tashihu Hadist-si Shalati at-Tarawihi ‘isrina rakaatan wa rodhu ‘ala Al-Albany fi Tad’iyfihi” Terjemahnya :“Shahihnya Hadist Shalat Tarawih 20 Rakaat dan Bantahannya Terhadap Al-Albani yang mendhaifkannya”

Dalam buku itu penulis telah keluar dari jalannya para ulama dalam hal melawan hujjah dengan hujjah dan dalil dengan dalil, juga dalam hal kejujuran dalam ucapan, dan menjauhkan pengkaburan pada orang yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kami tunjukkan pada perkara yang memungkinkan diringkas pada mukadimmah ini [Kemudian beliau menyebutkan 5 contoh dan beliau bantah dengan ilmiyah sehingga tampaklah bagi orang yang adil kuatnya hujjah beliau dan lemahnya dalil-dalil yang membantahnya, dan hampir semuanya berkisar pada masalah penerapan ilmu hadist. - pent]. Saya (Syaikh Al-Albani) berkata :
1. Sesungguhnya setiap orang yang membaca judul tersebut pada risalah / tulisannya, maka akan tergambar dibenaknya bahwa hadist yang marfu’ (sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam) tentang shalat tarawih 20 rakaat adalah disepakati kedhaifannya. Kemudian, apabila dia membaca beberapa lembar halaman awalnya maka akan jelas baginya bahwa atsar yang diriwayatkan dari jalan Yazid bin Khasifah dari Saib bin Yazid bahwa dia berkata : “Mereka (para Sahabat) mendirikan shalat pada zaman Umar bin Khattab pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat.”

Maka berawal dari sini pembaca akan mengetahui bahwa ada suatu (kejanggalan –pent) dalam tulisan ini, demikian pula pada judulnya. Karena dia terang-terangan berbuat tadlis.

Hanya kepada Allah lah kita meminta keselamatan dan ampunan.

2. Termasuk juga di situ dia membold (cetak tebal) tiga halaman yaitu (hal.14-16) terhadap Yazid bin Khasifah yang telah disebutkan, dan penetapannya bahwa dia adalah tsiqah itu dilakukannya untuk membuat ragu para pembaca -yang sungguh sejumlah telah a’immah (ulama) telah mentsiqahkannya- bahwa saya telah menyelisihi mereka semua dengan mendhaifkannya ! Padahal permasalahannya tidaklah demikian. Sungguh saya telah mengikuti mereka (para a’immah dalam men’tsiqah’kannya) sebagaimana akan datang penjelasannya.

3. Bahkan dia tidak sekedar (membuat) keragu-raguan dan tadlis dengannya (akan tetapi lebih dari itu). Jelas tersingkap kedustaan dan penyelisihannya dari kenyataan yang ada. (Pada hal.15) dia berkata : “Sesungguhnya Al-Albani menyangka kedhaifannya”. Ini adalah kedustaan nyata ! Karena sungguh, sebenarnya telah saya jelaskan dalam risalah saya (hal.57) bahwa dia adalah tsiqah!
Puncaknya adalah ucapan saya disitu : “Sesungguhnya dia menyendiri dengan apa-apa yang tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah. Yang seperti itu, ditolak hadistnya jika menyelisihi orang yang lebih kuat hafalannya dari pada dia; maka (atsar ini) menjadi syadz sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu Musthalah. Dan atsar ini termasuk di sini…”. Perkataan seperti ini, walaupun dianggap sebagai firnah terhadap penstiqahan para ulama, tetapi bukan berarti dia (Yazid) itu dhaif yang harus ditolak (hadistnya) secara mutlak. Bahkan sebaliknya, berati hadistnya diterima secara mutlak kecuali jika menyelisihi (riwayat-riwayat yang ada). Inilah apa yang saya tegaskan pada akhir ucapan yang telah disebutkan : ” Atsar ini termasuk disini…”. Berdasarkan pernyataan inilah perkataan kami berkisar. Maka orang yang mencela perkara tersebut dan menyandarkan suatu perkara yang tidak aku katakan adalah merupakan kelicikannya. Dan Allah lah yang mencatatnya.

4. Syaikh tersebut tidak merasa cukup dengan isyarat yang ditunjukkan kepadanya, ia justru menambahkan manasabkan kepadaku gelar buruk yang lain. Dia berkata (pada hal.22) : “ Tidak sepatutnya bagi orang yang meninggalkan riwayat Yazid bin Khasifah – yang digunakan hujjah oleh para imam semuanya –untuk menerima hujjah dengan riwayat Isa bin Jariyah yang didhaifkan oleh Yahya bin Main… dan. Sesungguhnya aku tidak menggunakan riwayat Isa tersebut sebagai hujjah mutlak, akan tetapi aku mengisyaratkan bahwa ia tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Sebagaimana aku katakan (hal. 21): “Sanadnya hasan, disebabkan (adanya) riwayat sebelumnya”.

Karena, seandainya aku berhujjah dengannya, seperti yang diada-adakan oleh Syaikh tersebut (tentu) tidaklah aku katakan : “Dengan riwayat sebelumnya”. Karena kalimat ini merupakan keterangan kuat yang menunjukkan bahwa perawi ini bukan termasuk seorang yang dapat digunakan/diterima riwayatnya. Bahkan ia di sisinya adalah lemah, tetapi digunkan sebagai penguat saja. Sehingga hadistnya menjadi hasan apabila terdapat (hadist lain) yang menguatkannya.

Dan telah didapatkan yaitu hadist yang diisyaratkan dengan perkataanku : “Dengan riwayat sebelumnya”. Yaitu hadist riwayat sebelumnya, yaitu hadist riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah di bulan Ramadhan, tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat”. (HR. Bukhary, Muslim dan lainnya)

Apakah Syaikh tersebut termasuk orang-orang yang tidak mengerti ilmu hadist sampai-sampai ia tidak memahami perkataan seperti ini : ”Sanadnya hasan dengan riwayat yang sebelumnya !” Apalagi aku telah menambahi keterangan atasnya ketika kamu kembali mentahrijnya di halaman lain (hal.79-80) dan kami nukil perkataan Al-Haitsami bahwa ia menghasankannya. Lalu aku memberi keterangan dengan perkataan : ”Dan sanadnya dianggap hasan menurutku”. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.

Apakah ini kepura-puraan yang disengaja atau pemalsuan murni yang dikarenakan kedengkian yang ada dalam hatinya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merhamati orang-orang yang mengatakan :

Jika engkau tidak mengetahui maka itu musibah
jika engkau mengetahui, maka musibahnya lebih besar.

Dan yang menunjukkan kepada pembaca bahwa syaikh mengetahui…, perkataannya (hal.46) : Dan telah disebutkan hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”

Sebagai cermin pengekorannya terhadap orang yang menghasankannya, (dia berkata) : “Tidak semestinya bagi Al-Albani untuk melemahkan hadist hasan dikarenakan adanya jalan periwayatan lain yang lemah. Maka sesungguhnya yang demikian itu menyimpang dari persetujuan yang disepakati para imam dalam bidang ini.”
Kalau demikian, maka aku (Syaikh Al-Albani) ketika menghasankan hadist Isa bin Jariyah yang telah lalu dengan penguat hadist Aisyah atasnya, syaikh menyadari dengan sepenuhnya pengetahuan bahwa aku sepakat dalam masalah itu dengan yang disepakati ulama dalam bidangnya. Oleh karena itu, ia tidak mampu menyalahkanku dalam masalah tersebut. Maka dia pun mengadakan pernyataan palsu bahwa aku berhujjah dengannya, untuk mencurahkan kebencian hatinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghitungnya.

Kemudian pembaca yang mulia bersama kami dapat melihat sepintas permainan syaikh ini terhadap hakekat ilmiyah. Karena jika yang demikian itu tidak selayaknya bagiku (seperti sangkaan) melemahkan hadist Jabir radiyallahu ‘anhu, yaitu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”

Karena dia (menurut persangkaanya) mempunyai jalan lain yang dhaif pula menurut pengetahuannya, walaupun karena taklid. Maka apakah patut pula baginya menganggap lemah hadist Jabir yang disebutkan di muka berkenaan dengan shalat Tarawih yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam sebanyak 11 rakaat ? Padahal hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha yang termaktub dalam shahih Bukhary dan Muslim yang dia lihat sendiri !.

Tidaklah ini artinya syaikh bermain diatas dua tali dan menimbang dengan dua neraca ? Maka Allah-lah tempat memohon pertolongan, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka dapat kami katakan sebagai keterangan dari kenyataan yang dilalaikan syaikh Ismail Al-Anshari (semoga Allah memberinya petunjuk) sebagai berikut : “Sesungguhnya telah kami katakan sebelumnya –menurut persangkaannya –adalah sebagai isyarat dariku bahwa jalan ini (yang dinukil dari sebagian mereka yang menghasankannya) akan tetapi kami nyatakan akan kedhaifannya, sedangkan dia sendiri melihat dengan mata kepalanya bahwa disana ada ‘an’anah Abi Az Zubair dari Jabir. Dan jalan lain itu sendiri yang memperkuat yang pertamanya. Karena sesungguhnya ukurannya pada Abi Az Zubair pula”. (nashbu Ar-Raayah 1/22).

Maka, apakah ilmu syaikh dapat menangkap bahwa sebagian dari apa yang disepakati oleh para ulama dalam bidangnya yaitu diperbolehkan menguatkan hadist dhaif dengan jalan hadist itu sendiri dan bukan dengan semisalnya. Ataukah ia mengikuti hawa nafsu dan berusaha membela syaikh walaupun dengan menyelisihi kebenaran. Ataukah dia hanya taqlid seperti Syaukani dalam kitabnya Nail Al Authar yang disana banyak penukilan, penjiplakan dan sedikit tahqiq dan pemeriksaan dalam membicarakan hadist-hadistnya.

Akan tetapi ini tidak menghalangiku (dengan fadhilah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taufik-Nya) dari menyatakan secara terang-terangan bahwa aku mendapatkan di kemudian hari, penguat yang sangat kuat terhadap hadist Jabir ini dan dengan lafadz yang sama dari hadist riwayat Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu yang tidak pernah dilihat seorangpun sebelumku yang telah disebutkan dan diisyaratkan olehnya. Dan hadist ini shahih sanadnya di sisiku seperti yang dapat kalian lihat dalam kitabku Irwa’ul Ghalil 1/78.

Kalau seandainya Syaikh Al-Anshari menghendaki ilmu, nasehat dan bimbingan tidak mengapa menjadikan satu jalan menjadi dua dan sangat baik bagi kami sebagai dalil atas penguat ini. Akan tetapi perkaranya seperti yang dikatakan : “Yang miskin tidak akan dapat memberi sesuatupun”. Sesungguhnya aku telah melihatnya menyebutkan dalam bantahan-nya (hal.48) bahwa hadist Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu di sisi Daruquthni. Dan bahwa maknanya sama dengan maknanya hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu.

Mengingat aku tidak mengetahui, demia Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan aku menyangka dia juga tidak mengetahui- kenapa Daruquthni mengkhususkan penyebutannya sedangkan pengarang-pengarang kitab Sunan lain tidak. Walaupun lafadz mereka sama :
“Jangan mengambil manfaat dari bangkai, kulitnya maupun tulangnya”.

Dan sangkaannya terhadap makna hadist Jabir tidak dapat diterima, karena lebih khusus daripadanya, seperti tampak. Sungguh ia lalai dari lafadz yang merupakan lafadz hadist Jabir dengan huruf yang sama.

Maka segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menunjuki aku –walaupun beberapa saat kemudian- kepadanya, dan tidak seorangpun memergokiku disebabkan kelalaianku yang lalu. Kalau tidak…kami mohon keselamatan dan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan akhirat.

5. Syaikh tersebut belum merasa cukup mengada-adakan terhadapku. Sesungguhnya ia telah menasabkan kepadaku (hal.41) pada pembodohan terhadap Salaf. Subhanallah - Maha Suci Engkau Ya Allah ! Ini suatu kedustaan yang sangat besar. Padahal yang benar, sesungguhnya saya tidak punya dosa terhadap syaikh tersebut dan yang semacamnya dari para ahli Taqlid yang hasad, kecuali hanya karena aku mengajak kepada Salafus Shalih dam konsisten dengan madzhabnya, tidak dengan madzhab-madzhab orang-orang tertentu dari mereka. Itulah yang membawa syaikh tersebut untuk menyikapi aku sebagai musuh, yang hasad/dengki dalam rangka mengikuti alur mayoritas ahli taqlid, yang tidak mengenal agama melainkan apa yang ada pada nenek moyang mereka kecuali orang yang Allah lindungi dan mereka sedikit sekali.

Diantara keanehan syaikh ini, dia telah melewati seluruh masalah-masalah yang diisyaratkan diatas dan telah kita teliti dengan benar penjelasannya. Dan aku tidak ragu bahwa dia sependapat dengan kami pada sebagiannya minimal, atau bahkan kebanyakannya. Tapi dia tidak menyebutkan sikapnya terhadap riwayat-riwayat tersebut. Contohya ucapan kami : “Sesungguhnya bukan merupakan konsekwensi keshahihan 20 rakaat itu, meninggalkan amalan dari riwayat lain yang sesuai dengan hadist Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tidak menambah baik di bulan Ramadhan atau yang lainnya lebih dari 11 rakaat.”

Apakah lebih utama mengamalkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengamalkan apa yang dilakukan manusia di zaman Umar ? Itupun seandainya riwayat tersebut shahih dari perbuatan mereka. ?!

Syaikh tersebut tidak menampakkan sikapnya tentang hal itu, karena jika dia menguatkan perkara yang menyelisihi Sunnah, akan tampak hakekatnya di kalangan Ahlussunnah, tapi kalau menguatkan Sunnah akibatnya akan sesuai dengan Al-Albani, dan ini adalah sesuatu yang tidak diperkenankan oleh dirinya karena sebuah sebab atau lebih yang tidak tersembunyi lagi pada pembaca yang cerdas.

Ini adalah sebuah contoh dari banthan-bantahan yang kami lihat membantah buku kita yang terdahulu yaitu “Shalatut Tarawih” padahal yang (tersebar diatas –pent) adalah bantahan yang paling bagus diantara yang lain. Namun demikian pembaca telah mengetahui beberapa contoh yang ada padanya yang darinya nampak jelas kosongnya dari sikap adil dan jauh dari jalan para ulama yang tidak menginginkan, kecuali keterangan hakekat suatu masalah. Dan jika ini dari orang yang paling baik dan berilmu diantara mereka maka bagaimana dengan yang lain yang tidak memiliki ilmu dan akhlaq.

Dan karena buku kami tersebut (Shalat Tarawih) telah tercetak dan melewati masa yang panjang, sedang kebutuhan menuntut untuk dicetak ulang, dan dahulu cara pemaparannya telah mencapai maksud serta tujuannya yang terpenting yaitu memperingatkan mayoritas manusia kepada Sunnah dalam shalat tarawih serta membantah orang-orang yang menyelisihi kami, sehingga tersebarlah Sunnah ini di banyak masjid-masjid di Syiria dan Yordania dan selain keduanya dari negeri-negeri Islam.

Dan Alhamdulillah yang dengan nikmat-Nyalah perkara-perkara yang baik itu menjadi sempurna. Oleh karenanya saya mempunyai ide meringkas [Ringkasan itu berjudul “Qiyamu Ramadhan” yang kami beri judul dalam bahasa indonesia ini dengan “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah shallallhu ‘alihi wa sallam, pent] dengan cara yang ilmiah murni, Tanpa aku menyinggung seorang pun untuk membantahnya sebagaimana ucapan orang (sampaikan ucapanmu dan berjalanlah terus), yakni menulis setiap faedah ilmiyah yang ada dalam kitab asli dengan menambah faedah-faedah lain untuk menyempurnkannya. Dan Allah lah Yang Maha Suci yang dimohon untuk memberi manfaat dengan ringkasan ini sebagaimana memberikan manfaat dengan yang sebelumnya, dan agar memberikan ganjaran darinya, sungguh Dia adalah Dzat yang paling derma tatkala diminta.

(Dinukil dari buku terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Mukaddimmah Cetakan Pertama”, Hal : 14 - 37, Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)