Tampilkan postingan dengan label Agama Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama Islam. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Januari 2011

HUKUM TURUT SERTA DALAM PERAYAAN NATAL DAN TAHUN BARU

Sangat disesalkan, banyak kaum muslimin yang ternyata ikut-ikutan gembira dan ikut-ikutan merayakan hari raya/hari besar kaum kafir. Di antara adalah perayaan Natal dan Tahun Baru. Yang lebih parah adalah Tahun Baru, karena banyak dari kaum muslimin yang tidak mengerti bahwa itu termasuk perayaan/hari besar orang-orang kafir. Mereka beralasan bahwa Tahun Baru bersifat universal. Di samping tidak sedikit dari kaum muslimin yang ikut meramaikan perayaan Natal, atau sekadar membantu tetangganya yang beragama kristen untuk merayakan Natal, berupa turut membantu memasak, hadir dalam undangan Natal, turut mengucapkan selamat, dll. Ini semua termasuk turut andil dalam perayaan hari besar agama kafir.

Semestinya seorang muslim menimbang segala ucapan dan perbuatannya dengan timbangan syari’at Allah. Bagaimana Islam mengatur hubungan dengan orang-orang kafir. Apakah boleh turut andil atau turut kerja sama, atau sekadar ikut meramaikan acara perayaan orang-orang kafir? Termasuk bolehkah ikut meramaikan atau ikut-ikutan senang dengan perayaan Natal dan Tahun Baru?

Berikut penjelasan seorang ‘ulama besar international, Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Mufti Besar Kerajaan Saudi Arabia (kini telah wafat).

سماحة الإمام الوالد عبد العزيز بن عبد الله بن باز : لا يجوز للمسلم ولا للمسلمة مشاركة النصارى ، أو اليهود ، أو غيرهم من الكفرة في أعيادهم ، بل يجب ترك ذلك ؛ لأن من تشبه بقوم فهو منهم ، والرسول - صلى الله عليه وسلم - حذرنا من مشابهتهم والتخلق بأخلاقهم ، فعلى المؤمن وعلى المؤمنة الحذر من ذلك ، وأن لا يساعد في إقامة هذه الأعياد بأي شيء ؛ لأنها أعياد مخالفة لشرع الله ، ويقيمها أعداء الله ؛ فلا يجوز الاشتراك فيها ، ولا التعاون مع أهلها ، ولا مساعدتهم بأي شيء ، لا بالشاي ، ولا بالقهوة ، ولا بأي شيء من الأمور كالأواني ، ونحوها . وأيضًا يقول الله سبحانه : ﴿ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾ . [ المائدة : 2 ] .

فالمشاركة مع الكفرة في أعيادهم نوع من التعاون على الإثم والعدوان ، فالواجب على كل مسلم وعلى كل مسلمة ترك ذلك .

ولا ينبغي للعاقل أن يغتر بالناس في أفعالهم ، الواجب أن ينظر في الشرع إلى الإسلام وما جاء به ، وأن يمتثل أمر الله ورسوله ن وأن لا ينظر إلى أمور الناس فإن أكثر الخلق لا يبالي بما شرع الله ، كما قال الله - عز وجل في كتابه العظيم - : ﴿ وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ ﴾ . [ الأنعام : 116 ] . وقال سبحانه : ﴿ وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ ﴾ . [ يوسف : 103 ] .

فالعوائد المخالفة للشرع لا يجوز الأخذ بها وإن فعلها الناس ، والمؤمن يزن أفعاله وأقواله ، ويزن أفعال الناس وأقوال الناس بالكتاب والسنة . بكتاب الله وسنة رسوله - عليه الصلاة والسلام - فما وافقهما أو أحدهما فهو المقبول ، وإن تركه الناس ، وما خالفهما أو أحدهما فهو المردود وإن فعله الناس .

Samahatul Imam Al-’Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz rahimahullah :

Tidak boleh bagi muslim dan muslimah untuk ikut serta dengan kaum Nashara, Yahudi, atau kaum kafir lainnya dalam acara perayaan-perayaan mereka. Bahkan wajib meninggalkannya. Karena barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari sikap menyerupai mereka atau berakhlaq dengan akhlaq mereka. Maka wajib atas setiap mukmin dan mukminah untuk waspada dari hal tersebut, dan tidak boleh membantu untuk merayakan perayaan-perayaan orang-orang kafir tersebut dengan sesuatu apapun, karena itu merupakan perayaan yang menyelisihi syari’at Allah dan dirayakan oleh para musuh Allah. Maka tidak boleh turut serta dalam acara perayaan tersebut, tidak boleh bekerja sama dengan orang-orang yang merayakannya, dan tidak boleh membantunya dengan sesuatu apapun, baik teh, kopi, atau perkara lainnya seperti alat-alat atau yang semisalnya.

Allah juga berfirman :

﴿ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ﴾

“Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangalah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” [Al-Ma`idah : 2]

Ikut serta dengan orang-orang kafir dalam acara perayaan-perayaan mereka merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk meninggalkannya.

Tidak selayaknya bagi seorang yang berakal jernih untuk tertipu dengan perbuatan-perbuatan orang lain. Yang wajib atasnya adalah melihat kepada syari’at dan aturan yang dibawa oleh Islam, merealisasikan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya tidak menimbangnya dengan aturan manusia, karena kebanyakan manusia tidak mempedulikan syari’at Allah. Sebagaimana firman Allah :

﴿ وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ ﴾

“Kalau engkau mentaati mayoritas orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” [Al-An’am : 116]

Allah juga berfirman :

﴿ وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ ﴾

“Kebanyakan manusia tidaklah beriman walaupun engkau sangat bersemangat (untuk menyampaikan penjelasan).” [Yusuf : 103]

Maka segala perayaan yang bertentangan dengan syari’at Allah tidak boleh dirayakan meskipun banyak manusia yang merayakannya. Seorang mukmin menimbang segala ucapan dan perbuatannya, juga menimbang segala perbuatan dan ucapan manusia, dengan timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Segala yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satu dari keduanya, maka diterima meskipun ditinggakan manusia. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah atau salah satunya, maka ditolak meskipun dilakukan oleh manusia.

[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah rahimahullahI/405]

http://www.assalafy.org/mahad/?p=288


Pertanyaan : Apa hukumnya mengucapkan selamat tahun baru, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh umat, seperti saling mengucapkan : كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ (setiap tahun engkau senantiasa berada dalam kebaikan) atau ucapan-ucapan semisal?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullah menjawab :

Ucapan selamat tahun baru bukanlah perkara yang dikenal di kalangan para ‘ulama salaf. Oleh karena itu lebih baik ditinggalkan. Namun kalau seseorang mengucapkan selamat karena pada tahun yang sebelumnya ia telah menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah, ia mengucapkan selamat karena umurnya yang ia gunakan untuk ketaatan kepada Allah, maka yang demikian tidak mengapa. Karena sebaik-baik manusia adalah barangsiapa yang panjang umurnya dan baik amalannya. Namun perlu diingat, ucapan selamat ini hanyalah dilakukan pada penghujung tahun hijriyyah. Adapun penghujung tahun miladiyyah (masehi) maka tidak boleh mengucapkan selamat padanya, karena itu bukan tahun yang syar’i. Bahkan kaum kafir biasa mengucapkan selamat pada hari-hari besar mereka. Seseorang akan berada pada bahaya besar jika ia mengucapkan selamat pada hari-hari besar orang-orang kafir. Karena ucapan selamat untuk hari-hari besar orang-orang kafir merupakan bentuk ridha terhadap mereka bahkan lebih. Ridha terhadap hari-hari besar orang-orang kafir bisa mengeluarkan seorang muslim dari agama Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imâm Ibnul Qayyim dalam kitab Ahkâm Ahlidz Dzimmah (Hukum-hukum tentang Kafir Dzimmi).

Kesimpulannya : Ucapan selamat untuk tahun baru hijriyyah lebih baik ditinggalkan tanpa diragukan lagi, karena itu bukan kebiasaan para ‘ulama salaf. Namun kalau ada seseorang yang mengucapkannya maka ia tidak berdosa.

Adapun ucapan selamat untuk tahun baru miladiyyah (masehi) maka tidak boleh.

[dari Liqâ`âtil Bâbil Maftûh ]

Hukum Memberi Ucapan Selamat Kepada Perayaan Orang Kafir

Lajnah Daimah ditanya :


"Apa hukum Islam tentang memberi ucapan selamat untuk kaum Nashara dalam hari raya mereka,sebab saya mempunyai paman yang tetangganya seorang nashrani,dia mengucapkan selamat kepadanya dalam hari-hari raya,dan perayaan-perayaan. Demikian pula dia mengucapkan selamat kepada pamanku itu pada saat hari raya, perayaan tertentu, dan setiap ada acara. Apakah dibolehkan mengucapkan selamat seorang muslim kepada nashrani,dan nashrani kepada muslim dalam perayaan dan hari raya mereka?

Berilah fatwa untuk kami semoga Allah membalas kebaikan kepada kalian.

Lajnah Daimah menjawab :


"Tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat kepada kaum nashara dalam pada hari-hari raya mereka. Sebab demikian itu termasuk bentuk tolong menolong diatas dosa dan sungguh kami telah dilarang melakukannya. Allah Ta'ala berfirman:


وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

"Janganlah kalian tolong menolong diatas dosa dan permusuhan". (QS. Al Maidah :1)


Demikian pula hal itu menyebabkan dia sering bertemu dengan mereka, melakukan sesuatu yang mereka cintai, dan mengesankan ridha dengan apa yang mereka perbuat dengan syi'ar-syi'ar mereka dan ini tidak diperbolehkan.

Yang wajib adalah menampakkan permusuhan kepada mereka dan menjelaskan kebenciannya,sebab mereka telah memusuhi Allah Azza waJalla,menyekutukan-Nya, dan menisbatkan kepada-Nya istri dan anak.Allah Ta'ala berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ


"Kamu tidak mendapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling cinta mencintai dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah bapak-bapak mereka, atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau karib kerabat mereka. Mereka itulah yang Allah mencatat pada mereka keimanan dan menguatkannya dengan ruh dari-Nya."
(QS.Al-Mujadilah:22)


Dan firman-Nya:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ …


"Sungguh bagi kalian suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya,tatkala mereka berkata kepada kaumnya: sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah dari selain Allah,kami mengingkari kalian dan telah nampak antara kami dan kalian kebencian dan permusuhan selama-lama-Nya hingga kalian beriman kepada Allah semat”.

(QS.Al-Mumtahanah:4)

Semoga Allah memberi taufiq,shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad,keluarga,dan para sahabatnya.

Lajnah Daimah,untuk pembahasan ilmiyah dan fatwa

Pimpinan: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Wakil ketua: Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah Ghudayyan

Sumber : (Fatawa al-lajnah:3/no: 11168 terjemah oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari Hafizhahullah )

(Sumber http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=90:hukum-memberi-ucapan-selamat-kepada-perayaan-orang-kafir&catid=31:nasehat-a-bantahan&Itemid=46)

Selasa, 06 April 2010

Download Kajian Sunnah

 Parent Directory                                                                                                                                                                -  
01. Pembukaan Daurah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 5.4M
02. Muqaddimah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 7.8M
03. Definisi Thaharah, Hukum Thaharah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 3.5M
04. Air, Najis, Mensucikan Najis, dan Membuang Hajat - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 14M
05. Wudhu, Sunnah-Sunnah Wudhu, dan Pembatal-Pembatal Wudhu - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 8.6M
06. Mandi, Rukun-Rukun dan Sunnah-Sunnah Mandi, Beberapa Mandi yang disyariatkan, Tayammum, Haidh, Nifas, dan Waktu-Waktu Sholat - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 15M
07. Waktu-Waktu Shalat, Adzan, Syarat-Syarat Shalat, dan Tata Cara Shalat - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 17M
08. Pembatal-Pembatal Shalat, Shalat Orang yang Berudzur, Shalat Sunnah, Shalat Berjamaah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 13M
09. Sujud Sahwi, Mengqadha Shalat yang tertinggal, Shalat Jum'at - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 5.1M
10. Shalat 'Iedain (Dua Hari Raya) dan Shalat Khauf - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 4.2M
11. Taushiyah Al Ustadz Khaidir - Kiat Menuntut Ilmu - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 5.3M
12. Shalat Musafir, Shalat Gerhana, Shalat Istisqa', Membesuk Orang yang Sakit, Memandikan Jenazah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 13M
13. Mengkafani Mayyit, Shalat Jenazah, Mengiringi Jenazah, Mengubur Mayyit, dan Zakat - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 13M
14. Zakat - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 13M
15. Golongan-Golongan yang Diharamkan Menerima Zakat, Zakat Fitri, dan Tentang Seperlima Bagian yang Dikeluarkan (1) - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 2.1M
16. Golongan-Golongan yang Diharamkan Menerima Zakat, Zakat Fitri dan Tentang Seperlima Bagian yang Dikeluarkan (2) - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 2.8M
17. Tanya Jawab Hari Ke-4 - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 5.9M
18. Puasa, Pembatal-Pembatal Puasa, Mengqadha Puasa, Puasa Sunnah, I'tikaf - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 13M
19. Taushiyah Al Ustadz Ibnu Yunus - Potret Salaf Sabar Menuntut Ilmu - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 5.7M
20. Haji, Penentuan Jenis Manasik, Larangan dalam Ihram, Thawaf - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 20M
21. Sa'i, Perincian Manasik Haji, Hadyu (Sembelihan Haji), Umrah secara khusus - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 6.9M
22. Tanya Jawab - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:02 7.0M
23. Nikah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 2.7M
24. Taushiyah Al Ustadz Luqman Jamal - Syarah Hadits - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 8.0M
25. Talak, Kepastian Jatuh Talak, Khulu', Iila', Zhihar - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 13M
26. Li'an dan Iddah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 7.9M
27. Istibra', Nafkah, Persusuan, Hidhanah, Seputar Jual Beli - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 14M
28. Rincian Beberapa Jual Beli yang Diharamkan, Riba - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 14M
29. Taushiyah Al Ustadz Abu Ahmad Solo.mp3 04-Apr-2010 09:03 2.7M
30. Khiyar, Salam, Peminjaman, Syuf'ah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 11M
31. Sewa-Menyewa, Penghidupan dan Pembagian Lahan, Perserikatan - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 8.4M
32. Jaminan Gadai, Titipan dan Pinjaman, Penguasaan Harta Orang Lain tanpa Hak, Pembebasan Budak - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 11M
33. Wakaf, Hadiah, Hibah, Sumpah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 6.9M
34. Wakaf, Hadiah, Hibah, Sumpah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 13M
35. Wakaf, Hadiah, Hibah, Sumpah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 6.4M
36. Nadzar - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 1.0M
37. Nadzar, Makanan, Hewan Buruan, Penyembelihan - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 13M
38. Taushiyah Al Ustadz Abdussalam Ambon.mp3 04-Apr-2010 09:03 3.3M
39. Menjamu Tamu, Etika Makanan, Minuman, Pakaian, Hewan Qurban - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 14M
40. Walimah, Aqiqah, Pengobatan, Wakalah, Dhamamah, Shulh - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 13M
41. Hawalah, Orang yang Bangkrut, Barang Temuan - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 10M
42. Qadha'. Khushumah, Bukti dan Pengakuan - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 12M
43. Kitab Hudud, Had Pezinah, Had Pencuri, Had Penuduh Perzinaan, Had Peminum Khamar - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 13M
44. Ta'zir, Had Perusak, Rincian Golongan Orang yang dibunuh secara Had, Qishash - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 12M
45. Muhadarah Syaikh Shalih Fauzan - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 4.6M
46. Nasehat Al Ustadz Dzulqarnain sebelum Muhadharah Syaikh Fauzan - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 2.6M
47. Diyah dan Qasamah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 7.1M
48. Wasiat, Waris, Jihad dan Perjalanan Perang - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 14M
49. Taushiyah Al Ustadz Manshur - Bekal Menuju Akhirat - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 3.0M
50. Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Ghanimah, Hukum-Hukum Seputar Tawanan, Mata-Mata & Perdamaian - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 12M
51. Tausiyah Al Ustadz Shobaruddin - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 4.6M
52. Penutupan Panitia Dauroh - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 736K
53. Muhadarah Asy Syaikh Zaid bin Muhammad Al Madkhali - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 8.1M
54. Taushiyah Al Ustadz Fadli - Istiqomah - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 4.8M
55. Penutupan Daurah Fiqih - www.an-nashihah.net.mp3 04-Apr-2010 09:03 1.9M
56. Sesi Tanya Jawab Hari ke-10.mp3 04-Apr-2010 09:03 8.3M
index.txt

Selasa, 06 Oktober 2009

Hukum Memelihara Jenggot

HUKUM MEMELIHARA JENGGOT


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah memelihara jenggot wajib hukumnya atau hanya boleh? Apakah mencukurnya berdosa atau hanya merusak Dien? Apakah mencukurnya hanya boleh bila dsiertai dengan memelihara kumis?

Jawaban
Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, kami katakan, terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih keduanya dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Selisihilah orang-orang musyrik, potonglah kumis (hingga habis) dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh lebat,-peny)’ [1]

Di dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot memanjang, selisihilah orang-orang Majusi” [2]

Imam An-Nasai di dalam sunannya mengeluarkan hadits dengan sanad yang shahih dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak pernah mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami” [3]

Al-Allamah besar dan Al-Hafizh terkenal, Abu Muhammad bin Hazm berkata, “Para ulama telah besepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu (wajib)”

Hadits-hadits tentang hal ini dan ucapan para ulama perihal memotong habis kumis dan memperbanyak jenggot, memuliakan dan membiarkannya memanjang banyak sekali, sulit untuk mengkalkulasi kuantitasnya dalam risalah singkat ini.

Dari hadits-hadits di muka dan nukilan ijma oleh Ibnu Hazm diketahui jawaban terhadap ketiga pertanyaan diatas, ulasan ringkasnya ; bahwa memelihara, memperbanyak dan membiarkan jenggot memanjang adalah fardhu, tidak boleh ditinggalkan sebab Rasulullah memerintahkan demikian sementara perintahnya mengandung makna wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7]

Demikian pula, menggunting (memotong) kumis wajib hukumnya akan tetapi memotong habis adalah lebih afdhal (utama), sedangkan memperbanyak atau membiarkannya begitu saja, maka tidak boleh hukumnya karena bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Potonglsh kumis”, “Potonglah kumis sampai habis”, “Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya (memotongnya) maka dia bukan termasuk dari golongan kami”

Keempat lafazh hadits tersebut, semuanya terdapat di dalam riwayat-riwayat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan pada lafazh yang terakhir tersebut terdapat ancaman yang serius dan peringatan yang tegas sekali. Hal ini kemudian mengandung konsekuensi wajibnya seorang muslim berhati-hati terhadap larangan Allah dan RasulNya dan bersegera menjalankan perintah Allah dan RasulNya.

Dari hal itu juga diketahui bahwa memperbanyak kumis dan membiarkannya merupakan suatu perbuatan dosa dan maksiat. Demikian pula, mencukur jenggot dan memotongnya termasuk perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan memperlemahnya serta dikhawatirkan pula ditimpakannya kemurkaan Allah dan azab-Nya.

Di dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas terdapat petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya termasuk perbuatan menyerupai orang-orang majusi dan orang-orang musyrik padahal sudah diketahui bahwa menyerupai mereka adalah perbuatan yang munkar, tidak boleh dilakukan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka” [4]

Saya berharap jawaban ini cukup dan memuaskan.

Wallahu waliyyut taufiq Washallahu wa sallam ‘ala Nabiyyina Muhamad wa alihi wa shahbih.

[Kumpulan fatwa-fatwa, juz III, hal.362-363]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc]
__________
Foote Note
[1]. Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Libas (5892, 5893), Shahih Musim, kitab Ath-Thaharah (259).
[2]. Shahih Muslim, kitab Ath-Thaharah (260)
[3]. Sunan At-Turmudzi, kitab Al-Adab (2761), Sunan An-Nasai, kitab Ath-Thaharah (13) dan kitab Az-Zinah (5047)
[4]. Sunan Abu Daud, kitab Al-Libas (4031), Musnad Ahmad (5093, 5094, 5634)

Sumber = "http://www.almanhaj.or.id/content/984/slash/0"

Pantaskah Mereka Disebut Ulama Indonesia?

Baru saja MUI keluarkan fatwa yang agak sensitif. Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat Gusrizal Gazahar mengatakan, ulama sepakat memutuskan golput hukumnya haram jika ada pimpinan yang dipilih memenuhi syarat. Sebaliknya, bila ada seseorang yang tepat untuk menjadi pimpinan tetapi pemilih memutuskan Golput hukumnya juga haram. “Dalam Islam, memilih pimpinan itu wajib, asal[kan] pimpinan yang dipilih itu memenuhi persyaratan,” kata Gusrizal. (Sumber: Tempo Interaktif)

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ali Mustafa Ya’qub menjelaskan, ijtimak ulama memutuskan merokok hukumnya ’’dilarang’’, yakni antara haram dan makruh. Maksudnya, hukumnya “makruh” bagi orang-orang pada umumnya, tetapi haram bagi orang tertentu atau dalam keadaan tertentu. Yang diharamkan merokok adalah “ibu-ibu hamil, anak-anak, di tempat umum, dan pengurus MUI,” katanya di aula Perguruan Dinniyah Putri, Jalan Abdul Hamid Hakim, Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar), Ahad (25/1). (Sumber: Riau Pos) (Catatan: Makruh itu sendiri terdiri dari dua macam: [1] makruh yang dekat dengan halal dan [2] makruh yang dekat dengan haram. Dalam fatwa MUI ini, hukum rokok adalah makruh yang dekat dengan haram.)

Saya jelaskan bahwa rokok itu haram, berikut penjelasannya :

Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat
Al-Qur'an dan As-Sunnah serta i'tibar (logika) yang benar.

Dalil dari Al-Qur'an adalah firmanNya.

Artinya : Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
[Al-Baqarah : 195]

Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu.

Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat tersebut adalah bahwa merokok
termasuk perbuatan mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang berasal dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam secara shahih bahwa beliau melarang
menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya
kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan
harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang
tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat
kemudharatan.

Dalil dari As-Sunnah yang lainnya, sebagaimana hadits-hadits dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi.

Artinya : Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak oleh membahayakan
(orang lain) [Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2340]

Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam
syariat, baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta. Sebagaimana
dimaklumi pula, bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.

Adapun dalil dari i'tibar (logika) yang benar, yang menunjukkan keharaman
merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya
sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan
keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap
dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok,
bila dirinya tidak menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan
ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari merokok. Bahkan,
alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak
mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan mereka. Karenanya, anda
akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka dan
berinteraksi dengan mereka.

Semua i'tibar tersebut menunjukkan bahwa merokok adalah diharamkan hukumnya.
Karena itu, nasehat saya buat saudaraku kaum muslimin yang didera oleh
kebiasaan menghisapnya agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad
untuk meninggalakannya sebab di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon
pertolongan kepada Allah serta megharap pahalaNya dan menghindari siksaanNya,
semua itu adalah amat membantu di dalam upaya meninggalkannya tersebut.

Jika ada orang yang berkilah, Sesungguhnya kami tidak menemukan nash, baik di
dalam Kitabullah ataupun Sunnah RasulNya perihal haramnya merokok itu sendiri.

Jawaban atas statemen ini, bahwa nash-nash Kitabullah dan As-Sunnah terdiri
dari dua jenis.

[1]. Satu jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti Adh-Dhawabith
(ketentuan-ketentuan) dan kaidah-kaidah di mana mencakup rincian-rincian yang
banyak sekali hingga Hari Kiamat.

[2]. Satu jenis lagi yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu
sendiri secara langsung.

Sebagai contoh untuk jenis pertama adalah ayat Al-Qur'an dan dua buah hadits
yang telah kami singgung di atas yang menujukkan secara umum keharaman merokok
sekalipun tidak secara langsung diarahkan kepadanya.

Sedangkan untuk contoh jenis kedua adalah firmanNya.

Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah [Al-Maidah : 3]

Dan firmanNya.

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya (meminum) khamr, berjudi
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu [Al-Maidah :
90]

Jadi, baik nash-nash tersebut termasuk ke dalam jenis pertama atau jenis kedua,
maka ia bersifat keniscayaan (keharusan) bagi semua hamba Allah karena dari
sisi pendalilan mengindikasikan hal itu.


Nah sudah jelaskan kalo agama dijadikan untuk urusan perut maka yang harampun bisa jadi halal.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Kumpulan Adzan

Senin, 14 September 2009

Cobaan Yang MEnimpa

Telah berlaku dalam sunnatullah bagi manusia bahwasanya Allah akan memberikan ujian kepada manusia untuk membuktikan keteguhan keimanan seseorang, sehingga benarlah orang-orang yang benar dan dustalah para pembohong terhadap apa yang mereka katakan. Allah telah berfirman :

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi?” dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)

Rasulullah pemah ditanya tentang manusia yang paling hebat dan dahsyat cobaannya, maka beliau bersabda :

“Para nabi, kemudian orang yang di bawahnya dan di bawahnya.” (HR. AtTirmidzi, 9/243 dan ibnu Majah no. 4023)

Ketika Imam Asy-Syafi’i ditanya tentang manakah yang lebih utama antara orang yang tenang (tidak diberi ujian) dengan orang-orang yang diberi cobaan? Maka dia menjawab, “Seseorang tidak akan tenang sebelum mendapat cobaan.”

Cobaan dan ujian yang telah diberikan kepada Imam Ahmad bin Hambal menunjukkan kekuatan dan keagungan imannya kepada Allah. Allah telah berfirman :

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)

Sebagian ulama salaf berkata, “Ketika manusia menghadapi pokok permasalahan yang genting, kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin, sehingga dengan keyakinan dan kesabaran, maka seseorang dapat mencapai derajat keimaman dalam agama. Oleh karena itu, Allah telah menjadikan tali yang kuat dari ulama untuk menjelaskan kebenaran kepada para manusia dan tidak menyembunyikan kebenaran tersebut.”

Berangkat dari sini, maka Rasulullah telah bersabda :

“Jihad yang paling besar adalah menyuarakan keadilan kepada penguasa yang jahat.” (HR. At-Tirmizdi, 9/20, dan An-Nasa’i, 7/161)

Para ulama berpendapat bahwa menyuarakan keadilan kepada penguasa yang jahat merupakan jihad paling besar atau paling utama, sedang yang disebut jihad adalah menghadapkan din pada kebinasaan. Disadarl bahwa menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang jahat, besar kemungkinannya jiwa akan binasa. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi para ulama dan dai penyeru agama Allah untuk selalu bersikap tegas dalam menyampaikan kebenaran tanpa rasa khawatir dan takut.

Adz-Dzahabi menambahkan, “Menyuarakan kebenaran adalah sesuatu yang mulia, tetapi diperlukan kekuatan dan keikhlasan. Orang yang ikhlas tanpa disertai kekuatan tidak bisa menegakkan kebenaran. Sedangkan orang kuat tetapi tidak ikhlas, maka ia hanya akan mendapatkan kehinaan. Orang yang sempurna adalah orang yang bisa menyeimbangkan kedua-duanya. Barangsiapa yang lemah, maka dia hanya bisa melakukannya dengan ingkar dalam hati dan berserah diri kepada Allah, karena tidak ada kekuatan kecuali dari-Nya.”

Secara silih berganti dan berurutan, Ahmad bin Hambal menghadapi cobaan dari empat penguasa sekaligus. Di antara keempatnya ada yang mengancam dan menteror; ada yang yang memukul dan memasukannya ke penjara; ada yang menggiring dan berlaku kasar kepadanya; dan yang terakhir mengiming-imingi kekuasaan dan harta kekayaan.

Akan tetapi, semua itu justeru membuat Ahmad bin Hambal bertambah tegar dan tetap pada pendirian semula serta bertambah kuatlah keimanan dan keyakinannya. Hal ini merupakan indikator iman yang benar kepada Allah sebagaimana difirmankan-Nya :

“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Al-Ahzab: 22)

Orang-orang mukmin yang benar imannya akan bertambah kadar imam dan ketundukannya kepada Allah dengan adanya cobaan dan ujian yang menimpanya. Sedangkan orang-orang munafik akan takut dengan cobaan tersebut sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :

“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.” (Al-Munafiqun: 4)

Al-Ulaimi berkata, “Ketika Al-Makmun Abu Ja’far bin Harun Ar-Rasyid mulai memerintah, tepatnya dimulai dari bulan Muharram, ada yang mengatakan Rajab tahun 198 Hijriyah, kaum Mu’tazilah mulai bersuara kembali dan mempengaruhi Al-Makmun untuk meninggalkan jalan yang benar menuju jalan yang batil. Mereka memperindah perkataan mereka yang hina dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Akibatnya, Al-Makmun pun mengikuti pendapat dan statemen mereka tersebut.

Menjelang akhir usia Al-Makmun, tepatnya sewaktu pasukan Al-Makmun keluar dari Baghdad hendak menyerang tentara Romawi, pada saat itulah, Al-Makmun menulis surat kepada Ishaq bin Ibrahim bin Mush’ab yang pada saat itu sebagai perwira tertinggi tentaranya agar mengajak kepada seluruh rakyatnya untuk mengikuti golongannya, yaitu golongan yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Kemudian, Ishaq bin Ibrahim menyeru para ulama, hakim dan para imam ahli hadits agar mengikuti seruan Al-Makmun, namun orang-orang yang menerima seruan tersebut menolaknya. Akhirnya, mereka pun menempuh jalan kekerasaan dan paksaan, sehirigga kebanyakan dan orang-orang tersebut pun mengikutinya dengan terpaksa. Akan tetapi, Ahmad bin Hambal tetap menolaknya sehingga Al-Makmun semakin geram dan marah. Pada saat Ahmad bin Hambal jelas-jelas menolak itulah, akhirnya dia dibawa dengan unta untuk di hadapkan kepada khalifah Al-Makmun.”

Abu Ja’far Al-Ambari mengatakan, “Tatkala Ahmad bin Hambal dalam perjalanan untuk di hadapkan Al-Makmun, dia duduk dalam keadaan lemas. Setelah aku menyeberangi sungai Efrat, maka aku berusaha menemuinya. Ketika aku bertemu dengannya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku mendengar dia berkata, “Wahai Abu Ja’far, apakah kamu merasa risau terhadapku?” Aku menjawab, “Ini sebenamya bukanlah kesusahan wahai saudaraku. Sesungguhnya sekarang ini kamu adalah pemimpin bagi manusia.

Pada saat ini banyak manusia mengikuti langkahmu. Demi Allah, kalau kamu membenarkan mereka untuk menganggap bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk, maka akan banyak sekali orang yang akan menerima pendapat tersebut. Namun, apabila kamu tidak menenimanya, maka kamu telah menghentikan banyak orang untuk mengikuti sepak terjang kesesatan langkah mereka. Oleh karena itu, meskipun kamu tidak dibunuh Al-Makmun pada saat nanti, maka pada waktunya nanti, kamu pasti juga akan mati. Bertakwalah kepada Allah dan jangan kamu terima pendapat mereka.” Akibat perkataanku itu, Ahmad bin Hambal lalu menangis dan berkata, “Apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi.”

Ahmad bin Hambal lalu diseret untuk dihadapkan kepada Khalifah Al-Makmun. Dalam kesempatan itu, Al-Makmun sudah menetapkan hukuman bagi Imam Ahmad untuk dibunuh kalau dia masih tidak mau menerima pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Setelah ketentuan hukuman Imam Ahmad sudah jelas, dia dibawa kembali untuk di masukkan penjara guna menunggu kapan hukuman mati yang ditetapkan Al-Makmun dilaksanakan.

Sewaktu dalam perjalan kembali menuju terali besi inilah, Imam Ahmad berdoa agar dirinya tidak dipertemukan lagi dengan Al-Makmun. Belum lama berselang, sewaktu Imam Ahmad masih dalam perjalanan, terdengar berita bahwa Al-Makmun telah meninggal. Al-Makmun meninggal pada bulan Rajab tahun 218 Hijriyah. Akibat kematian itulah, akhirnya Imam Ahmad dikembalikan lagi ke Baghdad untuk dipenjarakan.

Sepeninggal Al-Makmun, tampuk pemerintahan jatuh di tangan Al-Mu’tashim. Nama lengkap Mu’tashim adalah Abu lshaq Al-Mu’tashim Billah Muhammad bin Harun Ar-Rasyid.

Pada waktu itu, Al-Mu’tashim baru datang dari Romawi menuju ke Baghdad pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah. Pada masa Mu’tashim ini, Ahmad bin Hambal didera hukuman dengan cambukan yang pelaksanaanya terjadi di hadapannya.

Ada kabar yang menyebutkan bahwa ketika Al-Mu’tashim hendak menghadirkan Ahmad bin Hambal, di depan pintunya orang-orang ramai sekali berlalu-lalang seperti peristiwa hari raya. Pada waktu itu, digelarlah balai persidangan. Al-Mu’tashim berkata, “Bawa kemari Ahmad bin Hambal.”

Setelah Imam Ahmad dihadirkan dan berada di hadapan Al-Mu’tashim, ia memberi salam lalu berkata, “Wahai Ahmad, bicaralah dan jangan takut!” Imam Ahmad berkata, “Demi Allah, aku sudah masuk di sini berada di hadapmu. Sungguh, dalam hatiku tidak ada walau sekecil biji korma sekalipun rasa takut kepadamu.”

Al-Mu’tashim berkata, “Apa pendapatmu tentang Al-Qur”an?” Dia menjawab, “Al-Qur’an adalah firman Allah yang Qadim dan bukan makhluk. Allah telah berfirman :

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (AtTaubah: 6)”

Al-Mu’tashim bertanya lagi, “Apakah kamu mempunyai Hujjah yang lain?” Dia menjawab, “Ada, yaitu firman Allah yang berbunyi :

“[Tuhan] yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al Qur’an” (Ar Rahman 1-2)

Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, “[Tuhan] yang Maha Pemurah yang menciptakan Al-Qur”an.” Allah SWT juga berfirman,

“‘Yaa Sin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah.” (Yasin: 1-2)

Dalam ayat ini, Allah tidak berfirman, “Yaa sun. Demi Al-Qur’ an yang makhluk.”

Setelah mendengar penjelasan Imam Ahmad in Al-Mu’tashim lalu berkata, “Penjarakan dia.” Ahmad bin Hambal lalu di masukkkan penjara lagi dan buyarlah kumpulan manusia yang menyaksikan penistiwa akbar tersebut.

Keesokan harinya, Al-Mu’tashim duduk di kursi singgasananya dan berkata, “Datangkan kepadaku Ahmad bin Hambal.” Lalu, orang banyak pun berkumpul sampai aku mendengar kegaduhan di Baghdad. Tatkala Imarn Ahmad sudah tiba dan berdiri tepat di hadapannya, terlihat pedang sudah terhunus, tombak sudah diarahkan, perisai bertebaran membentuk pagar betis, tiang gantung sudah ditegakkan dan cambuk sudah disiapkan.

Al-Mu’tashim lalu bertanya kepada Imam Ahmad tentang pendapatnya mengenai Al-Qur’an. Kemudian Imam Ahmad menjawab, “Aku katakan bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk.” Al-Mu’tashim bertanya lagi, “Apa dalilmu?” Imam Ahmad menjawab “Dan Abdurrazaq dari Ma’mar dari Az-Zuhri dari Anas, dia berkata, “Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya firman Allah yang dikhususkan kepada Musa adalah 100313 (seratus ribu tiga ratus tiga belas) kalimat. Firman ini bersumber dari Allah dan Musa
mendengarkannya.”

Kemudian Allah juga berfirman,

“Akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripada-Ku; “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (As-Sajdah: 13)

Jadi, ketika perkataan (ketetapan) itu dari Allah, maka Al-Qur’an itu Kalamullah.

Tidak puas dengan menanyainya, Al-Mu’tashim lalu mengeluarkan Imam Ahmad ke dalam kelompok para ulama ahli fikih dan hakim untuk berdebat. Selama tiga hari berdebat, Imam Ahmad bin Hambal dapat membungkam dan mengalahkan argumen mereka. Ahmad bin Hambal memberikan keterangan yang jelas dan tidak terbantahkan lagi dengan berkata, “Aku adalah orang berilmu yang belum pemah melihat pendapat ini. Oleh karena itu, tunjukkanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dan hadits supaya aku menerima pendapat kalian.”

Ketika mereka memberikan dalil untuk mendukung dan menguatkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka Imam Ahmad berkata kepada mereka, “Bagairnana aku akan mengatakan sesuatu yang tidak disinggung Al-Qur’an?”

Sungguh, mereka yang berdebat dengan Imam Ahmad bin Hambal adalah orang-orang yang fanatik. Di antara mereka adalah; Muhammad bin Abdil Malik yang menjabat sebagai menteri Al-Mu’tashim, Ahmad bin Abi Al-.Qadhi serta Bisyr Al-Muraisi. Mereka semua adalah orang Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Ibnu Abi Dawud dari Bisyr Al-Muraisi mengusulkan kepada khalifah, ‘Bunuh saja orang ini (Ahmad bin Hambal) sehingga kita bisa beristirahat dengan tenang. Sungguh, Ahmad bin Hambal adalah orang kafir yang menyesatkan.”

Al-Mu’tashim menjawab, “Aku sudah berjanji kepada Allah untuk tidak membunuhnya memakai pedang dan tidak akan memerintahkan membunuhnya dengan pedang.” Mendengar jawaban ini, keduanya lalu berkata, “Kalau begitu, bunuh saja dia dengan cambuk.”

Al-Mu’tashim berkata kepada Ahmad bin Hambal, “Demi kekerabatanku dengan Rasulullah, sesungguhnya kami akan menderamu dengan cambuk atau kamu berkata seperti yang kami katakan?” Namun, hal itu tidak membuat Imam Ahmad berubah pikiran, sehingga Al-Mu’tashim lalu memerintahkan kepada ajudannya, “Datangkan ke sini algojo ahli cambuk.” Al-Mu’tashim lalu bertanya kepada seorang dari algojo-algojo itu, “Berapa cambukan yang kamu butuhkan untuk dapat membunuhnya?” Ia menjawab, “Sepuluh kali.” Al-Mu’tashim berkata, “Lakukanlah apa yang kamu butuhkan.” Kemudian baju Imam Ahmad dibuka dan kedua tangannya diikat dengan tali yang masih bana.

Sewaktu Al-Mu’tashim melihat cambuk-cambuk yang akan digunakan, maka dia memerintahkan agar cambuknya diganti dengan yang baru. Ketika proses pencambukan Imam Ahmad itu berlangsung, Al-Mu’tashim turut hadir menyaksikannya.

Pada deraan cambukan pertama, Imam Ahmad bin Hambal mengucapkan, “Bismillah (dengan nama Allah).” Pada cambukan kedua dia berkata, “La Haula wa la quwwata illa billah (tidak ada daya dan kuasa kecuali dari Allah).” Pada cambukan ketiga dia berkata, “Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk.” Pada deraan cambukan keempat, dia berkata dengan mengutip ayat Al-Qur’an : “Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami,” (At-Taubah: 15). Akibatnya, Al-Mu’tashim memerintahkan agar cambukan lebih diperkeras lagi. Ketika sampai pada cambukan yang ke sembilan belas, Al-Mu’tashim bangkit dan tempat duduknya beijalan mendekati Imam Ahmad dan berkata, “Wahai Ahmad, apakah rasa sakit telah mematikan jiwainu? Harus dengan apa kamu ingin mengakhiri hidupmu? Demi Allah, sesungguhnya aku sangat kasihan melihatmu begini. Apakah kamu ingin mengalahkan mereka semua!”

Sebagian ahli cambuk Al-Mu’tashim berkata, “Celakalah kamu wahai Ahmad, sang khalifah berdiri di atas kepalamu.” Sebagian lagi berkata, “Wahai Amirul Mukminin, percikan darah Ahmad mengenai leherku. Bunuh saja dia!” Sedangkan yang lain berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Ahmad sedang berpuasa, sedang paduka berdiri di bawah terik matahari!”

Kemudian Al-Mu’tashim berkata, “Wahai Ahmad, gerangan apakah yang ingin kamu katakan?” Imam Ahmad menjawab, “Berikanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dan hadits Nabi sehingga aku akan mengatakan sebagaimana yang paduka katakan.”

Al-Mu’tashim lalu kembali lagi ke kursi tempat duduknya dan memerintahkan kepada algojo mencambuknya, “Interogasi dia dengan cambuk agar mau mengatakannya!”

Tidak lama berselang, Al-Mu’tashim berdiri lagi mendekati Imarn Ahmad dan berkata, “Wahai Ahmad, kasihanilah dirimu dan ikutlah denganku! Sesungguhnya ketika kamu ikut denganku, gelar imam akan tetap kamu sandang.”

Lalu Imam Ahmad menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, berikanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dan hadits Nabi sehingga aku mengatakan sebagaimana paduka.”

Al-Mu’tashim pun kembali lagi ke tempat duduknya. Dia perintahkan memperkeras mencambuknya, akibatnya Imam Ahmad bin Hambal tidak sadarkan diri.

Pada saat tidak sadarkan diri itulah, badan Imam Abmad ditaruh di atas tikar milik seseorang. Ketika sudah sadar, maka mereka memberikan bubur kepadanya untuk makan dan minum. Namun Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan memakan dan meminumnya. Aku tidak ingin membatalkan puasaku.”

Lalu, mereka membawa Ahmad ke rumah Ishaq bin Ibrahim. Imam Ahmad menunaikan shalat Zhuhur di sana dan Ibnu Sama’ah menjadi makmumnya. Setelah shalat, Ibnu Sama’ah berkata, “Wahai Ahmad, kamu mengerjakakan shalat sedang darah mengalir membasahi bajumu?” Maka Imam Ahmad menjawab, “Umar bin Al-Khathab telah menunaikan shalat, sedang lukanya tetap mengalirkan darah.”

Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa ujian yang berat itu terjadi pada tahun 219 Hijniyah. Sedang ketika aku (Adz-Dzahabi) perhatikan dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa peristiwa itu tenjadi pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan tahun 220 Hijriyah.

Kisah yang benar adalah sebagaimana kami sebutkan di depan bahwa cobaan berat ini berawal pada bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah dengan dalil Bisyr Al-Muraisi sebagai otak penyulut bencana meninggal pada tahun 218 bulan Dzulhijjah.

Walaupun ada juga yang menyebutkan bahwa Bisyr Al-Muraisi meninggal pada tahun 219, akan tetapi pendapat ini kurang tepat karena Al-Mu’tashim memerintah setelah Al-Makmun. Al-Mu’tashim masuk Baghdad pada awal Ramadhan tahun 218, dan Ahmad bin Hambal dipenjara bersamaan ketika Al-Mu’tashim sedang masuk Baghdad.

Aku juga melihat keterangan lain yang menyatakan bahwa Ahmad bin Hambal dikeluarkan dari penjara pada bulan Ramadhan tahun 220 Hijriyah. Keterangan ini mendukung apa yang telah kami paparkan bahwa Imam Ahmad mendekam di penjara sekitar 28 (dua puluh delapan) bulan. Berawal dan menjelang Al-Makmun meninggal pada bulan Rajab tahun 218 Hijriyah sampai bulan Ramadhan tahun 220 adalah sekitar dua puluh delapan bulan.

Dari keterangan ini, maka mihnah (cobaan) itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah dan Ahmad bin Hambal keluar dari penjara pada tahun 228 Hijriyah. Wallahu a’lam.

Setelah Al-Mu’tashim meninggal, naiklah Abu Ja’far Al-Watsiq Harun bin Al-Mu’tashim sebagai khalifah pada bulan Rabiul Awal tahun 227 Hijniyah. Biarpun Abu Ja’far tidak mendera Ahmad bin Hambal dengan cambukan, akan tetapi dia telah mengasingkan Imam Ahmad. Tahanan ini bermula dari pengasingan di suatu daerah, kemudian Ahmad dipindah ke rumahnya dan ditetapkan dengan hukuman tahanan rumah. Imam Ahmad tetap bersabar dengan hukuman itu sampai pada akhimya Al-Watsiq meninggal.

Berdasarkan kisah Ibrahim Nafthawiyah dari Hamid bin Al-Abbas dari seseorang dari Al-Muhtadi bahwa sebelum Al-Watsiq meniriggal, ia telah bertaubat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Setelah Al-Watsiq mangkat, maka naiklah Al-Mutawakkil sebagal khalifah pada bulan Dzulhijjah. Nama Al-Mutawkkil adalah Abul Fadhi Ja far bin Al-Mu’tashim. Corak kepemimpinan Al-Mutawakkil ini berbeda dengan para pendahulunya, Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalain hal akidah. Dia justru mencela pendahulunya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan melarang para masyarakat untuk memperdebatkan masalah tersebut.

Sebagai gantinya, dia membuka lebar-lebar bagi ulama ahli hadits untuk menyebarkan dan meriwayatkan hadits. Akibatnya, berkibarlah bendera akidah Ahlu sunnah dan matilah bid’ah. Semua ulama yang dahulu dipenjarakan karena masalah Al-Qur’an makhluk dibebaskan. Sebagai penggantinya, dimunculkan surat keputusan yang berisi perintah penahanan terhadap Muhammad bin Abdil Malik Az-Ziyat Al-Wazir yang akhirnya di penjarakan di Tanur sampai meninggal. Peristiwa itu terjadi pada tahun 233 Hijriyah.

Empat puluh tujuh hari setelah Muhammad bin Abdil Malik Az-Ziyat Al-Wazir meninggal, hakim Ahmad bin Abi Dawud terkena penyakit mati separoh badannya. Oleh karena itu, kedudukan hakim lalu digantikan putranya yang bernama Abul Walid Muhammad. Akan tetapi, banyak masyarakat yang tidak senang terhadap langkah Abul Walid Muhammad ini. Akibatnya, teguran keras dan sangsi muncul dari Khalifah Al-Mutawakkil kepada Abmad bin Abi Dawud dan anaknya.

Semua harta kekayaannya yang berjumlah 120.000 (seratus dua puluh ribu) dinar dan permata senilai 40.000 (empat puluh ribu) dinar disita pemerintah. Tidak itu saja, Ahmad bin Abi Dawud pun digiring ke Baghdad dari tempat tinggalnya semula, Surra Man Ra’a. Selanjutnya, jabatan hakim digantikan Yahya bin Aktsam. Ahmad bin Abi Dawud akhirnya meninggal akibat penyakit yang dideritanya pada bulan Muharram tahun 240 Hijriyah. Sedang anaknya meninggal dua puluh hari lebih dahulu dari dirinya.

Adapun Bisyr Al-Muraisi, maka ia telah binasa pada Dzulhijjah 218 atau 218 Hijriyah.”

Dan Imran bin Musa, dia berkata, “Ketika aku menjenguk Abul Aruq Al-Jallad, orang yang telah mencambuk Imam Ahmad, aku menemukannya selama 45 (empat puluh lima) hari ia hidup menggonggong seperti anjing.”

Semua orang yang telah mendera Ahmad bin Hambal mendapat hukuman dari Allah. Sedang mereka yang memaksakan bid’ah terhadapnya dihinakan Allah. Semuanya terjadi karena kekuasaan dan kehendak-Nya dan berkah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Setelah Al-Mutawakkil menjabat sebagai khalifah, ia sangat memperhatikan kesejahteraaan, memuliakan dan mengagungkan Ahmad bin Hambal. Dia menulis surat kepadà gubernur Baghdad agar datang menghadapnya dengan mengajak Imam Ahmad ke Surra Man Ra’a sebagai pusat pemerintahan.

Abdullah bin Ahmad mengkisahkan bahwa telah datang utusan Al-Mutawakkil kepada Ahmad bin Hambal. Utusan itu memberitahukan bahwa Al-Mutawakkil mengharap sekali kedatangan Imam Ahmad dan doa restunya.

Namun, Imam Ahmad menyikapi pemberian itu justru dengan menangis seraya berkata, “Sejak enam puluh tahun aku dapat selamat dari ini semua. Akan tetapi, dipenghujung usiaku, Engkau uji aku dengan ini.” Imam Ahmad tidak menyentuh pembenian itu.”

Al-Mutawakkil selalu menginimkan uang tunjangan kepada Ahmad bin Hambal, namun Imam Ahmad tidak pemah mau menerimanya. Akibatnya, Al-Mutawakkil berpesan, “Apabila Imam Ahmad tidak mau menerima hadiah uang ini, maka biarlah ia membagikannya kepada orang yang berhak menerimanya biarpun ia tidak mengambil uang ini sedikit pun.”

Tidak itu saja, Al-Mutawakkil juga selalu mengirimkan makanan dan buah-buahan khusus untuk Imam Abmad, akan tetapi ia juga tidak pernah menyentuhnya.

Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, “Ketika Al-Mutawakkil menyuruh agar Imam Ahmad dibelikan rumah khusus,” maka Imam Ahmad berkata kepada Shaleh, “Kalau kamu mengikuti apa yang telah mereka perintahkan kepadamu, maka putuslah hubungan antara kamu denganku.’ Walau demikian, Shaleh tetap membeli rumah dari uang pemberian Al-Mutawakkil.

Al-Mutawakkil tidak pernah membuat keputusan apapun kecuali setelah bermusyawarah dengan Ahmad bin Hambal. Demikianlah, Imam Ahmad melalui sisa hari-harinya dengan alam kesederhanaan sampal meninggaL Dan surat dari Al-Mutawakkil seringkali datang menanyakan kabarnya dan terkadang surat itu untuk bermusywarah.’

Diambil dari :
Buku : 60 Biografi Ulama Salaf
karya : Syaikh Ahmad Farid
penerbit : Pustaka al-Kautsar.

Minggu, 06 September 2009

Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.


Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.

Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

  1. Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
  2. Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
  3. Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
  4. Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
  5. Senantiasa didengar doanya.
  6. Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
  7. Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
  8. Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
  9. Selalu mengharapkan akhirat.
  10. Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
  11. Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
  12. Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
  13. Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
  14. Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.

Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:

  1. Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
  2. Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
  3. Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
  4. Tidak dikabulkan doanya.
  5. Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
  6. Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
  7. Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
  8. Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
  9. Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
  10. Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
  11. Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
  12. Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.

Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)

*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:

من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

***

اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

Maraji’:

  1. Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah
  2. Shahih Muslim, Dar As-Salam
  3. Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif

***

Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah (Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami’ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)
Artikel www.muslim.or.id

Permusuhan Yahudi Terhadap Islam Dalam Sejarah

Permusuhan Yahudi terhadap Islam sudah terkenal dan ada sejak dahulu kala. Dimulai sejak dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan mungkin juga sebelumnya bahkan sebelum kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan karena khawatir dari pengaruh dakwah islam yang akan menghancurkan impian dan rencana mereka. Namun dewasa ini banyak usaha menciptakan opini bahwa permusuhan yahudi dan islam hanyalah sekedar perebutan tanah dan perbatasan Palestina dan wilayah sekitarnya, bukan permasalahan agama dan sejarah kelam permusuhan yang mengakar dalam diri mereka terhadap agama yang mulia ini.

Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam

Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya:

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Qs. 5:82)

Melihat demikian panjangnya sejarah dan banyaknya bentuk permusuhan Yahudi terhadap Islam dan Negara Islam, maka kami ringkas dalam 3 marhalah;

Marhalah pertama:
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.

Diantara upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa-masa awal perkembangannya adalah:

  1. Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
  2. Membangkitkan fitnah dan kebencian: Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi, namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam . diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ “Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya: Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
  3. Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin: Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari (permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
  4. Memata-matai kaum Muslimin: Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya: Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
  5. Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)

Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.

Marhalah kedua:
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam.

Orang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan penting tersebut adalah:

  1. Pengusiran Bani Qainuqa’
  2. Pengusiran bani Al Nadhir
  3. Perang Bani Quraidzoh
  4. Penaklukan kota Khaibar

Setelah terjadinya hal tersebut maka orang Yahudi terusir dari jazirah Arab.

Marhalah ketiga:
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan beberapa sebab diantaranya:

  1. Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
  2. Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
  3. Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.

Memang berbicara tentang tipu daya dan makar Yahudi kepada kaum Muslimin sejak wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga kini membutuhkan pembahasan yang panjang sekali. Namun rasanya cukup memberikan 3 contoh kejadian besar dalam sejarah Islam untuk mengungkapkan permasalahan ini. Yaitu:

  1. Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
  2. Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
  3. Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.

Orang Yahudi dalam menjalankan rencana tipu daya mereka menggunakan kekuatan berikut ini:

  1. Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
  2. Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
  3. Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.

Usaha-usaha Musthofa Kamal Basya Ataturk dalam menghancurkan kekhilafahan setelah berhasil menyingkirkan sultan Abdulhamid kedua adalah:

  1. Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
  2. Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
  3. Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
  4. Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
  5. Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.

Demikianlah sempurna sudah keinginan orang-orang Yahudi untuk menjadikan kekhilafahan sebagai Negara sekuler yang dipimpin seorang Yahudi yang berkedok muslim.

Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.

***

Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.com dikutip oleh www.muslim.or.id

Manfaat dan Keutamaan Mengikuti Manhaj (Metode Pemahaman) Salaf


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Prolog

Manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena manhaj ini mengajarkan pemahaman dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan tetap menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan sesuai dengan perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:

{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. At Taubah: 100)

Dalam ayat lain, Allah ta’ala memuji keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا

“Dan jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar).” (Qs. Al Baqarah: 137)

Dalam hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua golongan tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah. Dalam riwayat lain: “Mereka (yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat “Silsilatul Ahaaditsish Shahihah” no. 204)

Maka mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti manhaj inilah kita akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang Allah ta’ala janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Berkata Imam Ibnul Qayyim dalam menjelaskan hadits di atas: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik secara mutlak adalah generasi di masa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (para sahabat radhiyallahu ‘anhum), dan ini mengandung pengertian keterdepanan mereka dalam seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya) dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka tidak akan dinamakan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai) generasi yang terbaik secara mutlak”. Maksud terbaik secara mutlak yaitu kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama. (Lihat Kitab I’laamul muwaqqi’iin, 4/136- cet. Daarul Jiil, Beirut, 1973)

Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, berikut ini kami akan menyebutkan dan menjelaskan beberapa contoh/poin penting yang menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita capai dengan berusaha memahami dan mengamalkan manhaj salaf dengan baik dan benar, serta mustahilnya mencapai semua itu dengan mengikuti selain manhaj yang benar ini:

1- Keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama di dunia dan akhirat

Allah ta’ala berfirman:

{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: {Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat}.”. (HR. Al Bukhari dalam Shahih Al Bukhari, no. 4422- cet. Daar Ibni Katsir, Beirut, 1407 H. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, no. 2871- cet. Daar Ihya-it turats al ‘araby, Beirut)

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama hanyalah Allah ta’ala anugerahkan kepada orang beriman yang memiliki ‘ucapan yang teguh’, yaitu dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan baik dan benar.

Maka berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita salah satu keutamaan dan manfaat besar mengikuti manhaj salaf, karena tidak diragukan lagi hanya manhaj salaf-lah satu-satunya manhaj yang benar-benar memberikan perhatian besar kepada pemahaman dan pengamalan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar, dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang kalimat Tauhid (Laa Ilaaha Illallah), keutamaannya, kandungannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkan dan mengurangi kesempurnaannya, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan syirik dan semua perbuatan yang bertentangan dengan tauhid.

Demikian pula perhatian besar manhaj salaf terhadap kalimat syahadat (Muhammadur Rasulullah), dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang keindahan dan kesempurnaan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan bid’ah dan semua perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah.

Berkata Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Al Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat dari ancaman azab Allah ta’ala / orang-orang yang mengikuti manhaj salaf) adalah orang-orang yang (sangat) mengutamakan Tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon keselamatan dalam keadaan susah maupun senang, berkurban, bernazar, dan ibadah-ibadah lainnya, serta keharusan menjauhi syirik dan fenomena-fenomenanya yang terlihat nyata di kebanyakan negara Islam… Dan mereka adalah orang-orang yang selalu menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadah, tingkah laku dan (semua sisi) kehidupan mereka, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang asing di tengah masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggambarkan keadaan mereka: “Sesungguhnya islam awalnya datang dalam keadaan asing, dan nantinya pun (di akhir jaman) akan kembali asing, maka beruntunglah (akan mendapatkan surga) orang-orang yang asing (karena berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain: “… Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia dalam keadaan rusak”. Berkata Syaikh Al Albani: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad Daani dengan sanad yang shahih.” (Minhaajul Firqatin Naajiyah, hal. 7-8 – cet. Daarush Shami’i, Riyadh)

2- Meraih Kenikmatan tertinggi di Surga, yaitu Melihat Wajah Allah ta’ala yang Maha Mulia dan Maha Tinggi

Dalam hadits shahih dari seorang sahabat yang mulia Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah ta’ala”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat berikut:

للذين أحسنوا الحسنى وزيادة

“Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26). (HR. Muslim dalam Shahih Muslim, no. 181)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau “Ighaatsatul lahafaan” (Hal. 70-71, Mawaaridul amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H) menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah ta’ala) adalah balasan yang Allah ta’ala berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Untuk lebih jelas pembahasan masalah ini, silakan baca tulisan kami yang berjudul “Indahnya Islam Manisnya Iman”. Dalam sebuah ucapannya yang tersohor Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.” (Al Waabilush Shayyib, 1/69)

Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih: “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…” (HR. An Nasa-i dalam “As Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al Musnad” (4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim dalam “Al Mustadrak” (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Sykh Al Albani dalam “Zhilaalul Jannah Fii Takhriijis Sunnah” (no. 424))

Dari keterangan di atas juga terlihat jelas besarnya keutamaan dan manfaat mengikuti manhaj salaf. Karena kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan Allah ta’ala merupakan buah yang paling utama dari ma’rifatullah (pengenalan/pengetahuan yang benar dan sempurna tentang Allah ta’ala dan sifat-sifat-Nya), yang mana ma’rifatullah yang benar dan sempurna tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan mempelajari dan memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala dalam Al Qur-an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan metode pemahaman yang benar, yang ini semua hanya didapatkan dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah/manhaj Salaf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah ideologi golongan yang selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah ta’ala sampai hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal jama’ah (orang-orang yang mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, (hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.

Termasuk iman kepada Allah (yang diyakini Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah mengimani sifat-sifat Allah ta’ala yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur-an dan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), tanpa tahriif (menyelewengkan maknanya), tanpa ta’thiil (menolaknya), tanpa takyiif (membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan tanpa tamtsiil (menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah wal jama’ah mengimani bahwa Allah ta’ala:

{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy Syuura:11)

Maka Ahlus Sunnah wal jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari arti yang sebenarnya, tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam (menetapkan) nama-nama Allah (yang maha indah) dan dalam (memahami) ayat-ayat-Nya. Mereka tidak membagaimanakan /menanyakan bentuk sifat Allah dan tidak menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk. Karena Allah ta’ala tiada yang serupa, setara dan sebanding dengan-Nya, Dia ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang makhluk-Nya, serta Dia-lah yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding (semua) makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang berkata tentang Allah ta’ala tanpa pengetahuan. Oleh karena itulah Allah ta’ala Berfirman:

{سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين}

“Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka katakan, Dan keselamatan dilimpahkan kepada para Rasul, Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” (Qs. Ash Shaaffaat: 180-182)

Maka (dalam ayat ini) Allah menyucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan orang-orang yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karena selamat (suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan dan celaan. Allah ta’ala telah menghimpun antara an nafyu (meniadakan sifat-sifat buruk) dan al itsbat (menetapkan sifat-sifat yang maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal jama’ah sama sekali tidak menyimpang dari petunjuk yang dibawa oleh para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itulah jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah ta’ala, yaitu para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh.” (Kitab “Al ‘Aqiidatul Waasithiyyah” (hal. 6-8))

3- Menggapai taufik dari Allah ta’ala yang merupakan kunci pokok segala kebaikan

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri.

Telah bersepakat al ‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah ta’ala kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah khidzlaan (berpalingnya) Allah ta’ala dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al khidzlaan (berpalingnya Allah ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah ta’ala)…”

Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari hal ini dalam doa beliau yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata.” (HR. An Nasa-i dalam “As Sunan” (6/147) dan Al Hakim dalam “Al Mustadrak” (no. 2000), dishahihkan oleh Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaaditsish Shahihah (1/449, no. 227)) (Kitab Al Fawa-id (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H))

Dari keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas jelaslah bagi kita bahwa kunci pokok segala kebaikan adalah memahami dan mengimani bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi, yang ini merupakan kesimpulan makna iman kepada takdir Allah ta’ala yang baik maupun yang buruk. Dan sekali lagi ini menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena pemahaman yang benar terhadap masalah takdir Allah ta’ala hanya ada pada manhaj salaf. Untuk lebih jelasnya, baca keterangan Ibnu Taimiyyah dalam Al ‘Aqiidatul waasithiyyah (hal. 22) tentang lurusnya pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam masalah iman kepada takdir Allah dan sesatnya pemahaman-pemahaman lain yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah.

4- Mendapatkan semua kemuliaan yang Allah Ta’ala sediakan di akhirat

Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan kewajiban mengimani keberadaan Al Haudh (telaga milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti) yang merupakan bagian dari iman kepada hari akhir, beliau berkata: “Penjelasan tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –semoga Allah Memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat– (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang bersikeras kepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini. Mereka inilah yang paling terancam untuk dihalangi (diusir) dari telaga tersebut (pada hari kiamat) (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.), sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut…” (Kitab An Nihayah Fiil Fitani Wal Malaahim (hal. 127))

Ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir ini menunjukkan bahwa semua kemuliaan yang Allah ta’ala sediakan di akhirat, seperti kenikmatan di alam kubur, meminum dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendapatkan Syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang diizinkan Allah ta’ala untuk memberikan syafaat bahkan termasuk kenikmatan di dalam surga, hanyalah Allah ta’ala anugerahkan kepada orang-orang yang tidak mengingkari dan mengimaninya dengan benar. Ini juga menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena hanya dengan mengikuti manhaj salaflah kita bisa memahami dan mengimani hal-hal tersebut dengan baik dan benar, sehingga orang-orang yang memahami dan mengimani hal-hal tersebut berdasarkan manhaj salaf merekalah yang paling diutamakan untuk meraih semua kemuliaan tersebut dengan sempurna. Adapun orang-orang yang tidak memahami dan mengimani hal-hal tersebut dengan benar karena tidak mengikuti manhaj salaf, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan kemuliaan-kemuliaan tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya, tergantung dari jauh dekat pemahaman tersebut dari pemahaman salaf.

Penutup

Contoh-contoh di atas jelas sekali menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita raih di dunia dan akhirat dengan mengikuti manhaj salaf, masih banyak contoh lain yang tidak mungkin kami sebutkan semua. Semoga dengan contoh-contoh ini kita semakin termotivasi untuk lebih giat mengkaji dan mengamalkan petunjuk para ulama salaf dalam beragama, agar kita semakin sempurna mendapatkan manfaat dan kebaikan yang Allah ta’ala sediakan bagi hamba-hambanya yang menjalankan agamanya dengan baik dan benar.

Sebagai penutup, alangkah indahnya ucapan seorang penyair yang berkata:

Semua kebaikan (hanya dapat dicapai) dengan mengikuti (manhaj) salaf
Dan semua keburukan ada pada perbuatan bid’ah orang-orang khalaf

Khalaf adalah orang-orang yang menyelisihi manhaj salaf.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 5 Dzulqa’dah 1429 H

***

Penulis: Abdullah bin Taslim Al Buthoni
Artikel www.muslim.or.id