Selasa, 06 Oktober 2009
Pantaskah Mereka Disebut Ulama Indonesia?
Baru saja MUI keluarkan fatwa yang agak sensitif. Ketua Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat Gusrizal Gazahar mengatakan, ulama sepakat memutuskan golput hukumnya haram jika ada pimpinan yang dipilih memenuhi syarat. Sebaliknya, bila ada seseorang yang tepat untuk menjadi pimpinan tetapi pemilih memutuskan Golput hukumnya juga haram. “Dalam Islam, memilih pimpinan itu wajib, asal[kan] pimpinan yang dipilih itu memenuhi persyaratan,” kata Gusrizal. (Sumber: Tempo Interaktif)
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ali Mustafa Ya’qub menjelaskan, ijtimak ulama memutuskan merokok hukumnya ’’dilarang’’, yakni antara haram dan makruh. Maksudnya, hukumnya “makruh” bagi orang-orang pada umumnya, tetapi haram bagi orang tertentu atau dalam keadaan tertentu. Yang diharamkan merokok adalah “ibu-ibu hamil, anak-anak, di tempat umum, dan pengurus MUI,” katanya di aula Perguruan Dinniyah Putri, Jalan Abdul Hamid Hakim, Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar), Ahad (25/1). (Sumber: Riau Pos) (Catatan: Makruh itu sendiri terdiri dari dua macam: [1] makruh yang dekat dengan halal dan [2] makruh yang dekat dengan haram. Dalam fatwa MUI ini, hukum rokok adalah makruh yang dekat dengan haram.)
Saya jelaskan bahwa rokok itu haram, berikut penjelasannya :
Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat
Al-Qur'an dan As-Sunnah serta i'tibar (logika) yang benar.
Dalil dari Al-Qur'an adalah firmanNya.
Artinya : Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
[Al-Baqarah : 195]
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu.
Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat tersebut adalah bahwa merokok
termasuk perbuatan mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang berasal dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam secara shahih bahwa beliau melarang
menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya
kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan
harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang
tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat
kemudharatan.
Dalil dari As-Sunnah yang lainnya, sebagaimana hadits-hadits dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi.
Artinya : Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak oleh membahayakan
(orang lain) [Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2340]
Jadi, menimbulkan bahaya (dharar) adalah ditiadakan (tidak berlaku) dalam
syariat, baik bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta. Sebagaimana
dimaklumi pula, bahwa merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta.
Adapun dalil dari i'tibar (logika) yang benar, yang menunjukkan keharaman
merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya
sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan
keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap
dirinya sendiri. Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok,
bila dirinya tidak menghisapnya. Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan
ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari merokok. Bahkan,
alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak
mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan mereka. Karenanya, anda
akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka dan
berinteraksi dengan mereka.
Semua i'tibar tersebut menunjukkan bahwa merokok adalah diharamkan hukumnya.
Karena itu, nasehat saya buat saudaraku kaum muslimin yang didera oleh
kebiasaan menghisapnya agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad
untuk meninggalakannya sebab di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon
pertolongan kepada Allah serta megharap pahalaNya dan menghindari siksaanNya,
semua itu adalah amat membantu di dalam upaya meninggalkannya tersebut.
Jika ada orang yang berkilah, Sesungguhnya kami tidak menemukan nash, baik di
dalam Kitabullah ataupun Sunnah RasulNya perihal haramnya merokok itu sendiri.
Jawaban atas statemen ini, bahwa nash-nash Kitabullah dan As-Sunnah terdiri
dari dua jenis.
[1]. Satu jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti Adh-Dhawabith
(ketentuan-ketentuan) dan kaidah-kaidah di mana mencakup rincian-rincian yang
banyak sekali hingga Hari Kiamat.
[2]. Satu jenis lagi yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu
sendiri secara langsung.
Sebagai contoh untuk jenis pertama adalah ayat Al-Qur'an dan dua buah hadits
yang telah kami singgung di atas yang menujukkan secara umum keharaman merokok
sekalipun tidak secara langsung diarahkan kepadanya.
Sedangkan untuk contoh jenis kedua adalah firmanNya.
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah [Al-Maidah : 3]
Dan firmanNya.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya (meminum) khamr, berjudi
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu [Al-Maidah :
90]
Jadi, baik nash-nash tersebut termasuk ke dalam jenis pertama atau jenis kedua,
maka ia bersifat keniscayaan (keharusan) bagi semua hamba Allah karena dari
sisi pendalilan mengindikasikan hal itu.
Nah sudah jelaskan kalo agama dijadikan untuk urusan perut maka yang harampun bisa jadi halal.
No Response to "Pantaskah Mereka Disebut Ulama Indonesia?"
Leave A Reply