Telah berlaku dalam sunnatullah bagi manusia bahwasanya Allah akan memberikan ujian kepada manusia untuk membuktikan keteguhan keimanan seseorang, sehingga benarlah orang-orang yang benar dan dustalah para pembohong terhadap apa yang mereka katakan. Allah telah berfirman :
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi?” dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Rasulullah pemah ditanya tentang manusia yang paling hebat dan dahsyat cobaannya, maka beliau bersabda :
“Para nabi, kemudian orang yang di bawahnya dan di bawahnya.” (HR. AtTirmidzi, 9/243 dan ibnu Majah no. 4023)
Ketika Imam Asy-Syafi’i ditanya tentang manakah yang lebih utama antara orang yang tenang (tidak diberi ujian) dengan orang-orang yang diberi cobaan? Maka dia menjawab, “Seseorang tidak akan tenang sebelum mendapat cobaan.”
Cobaan dan ujian yang telah diberikan kepada Imam Ahmad bin Hambal menunjukkan kekuatan dan keagungan imannya kepada Allah. Allah telah berfirman :
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)
Sebagian ulama salaf berkata, “Ketika manusia menghadapi pokok permasalahan yang genting, kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin, sehingga dengan keyakinan dan kesabaran, maka seseorang dapat mencapai derajat keimaman dalam agama. Oleh karena itu, Allah telah menjadikan tali yang kuat dari ulama untuk menjelaskan kebenaran kepada para manusia dan tidak menyembunyikan kebenaran tersebut.”
Berangkat dari sini, maka Rasulullah telah bersabda :
“Jihad yang paling besar adalah menyuarakan keadilan kepada penguasa yang jahat.” (HR. At-Tirmizdi, 9/20, dan An-Nasa’i, 7/161)
Para ulama berpendapat bahwa menyuarakan keadilan kepada penguasa yang jahat merupakan jihad paling besar atau paling utama, sedang yang disebut jihad adalah menghadapkan din pada kebinasaan. Disadarl bahwa menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang jahat, besar kemungkinannya jiwa akan binasa. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi para ulama dan dai penyeru agama Allah untuk selalu bersikap tegas dalam menyampaikan kebenaran tanpa rasa khawatir dan takut.
Adz-Dzahabi menambahkan, “Menyuarakan kebenaran adalah sesuatu yang mulia, tetapi diperlukan kekuatan dan keikhlasan. Orang yang ikhlas tanpa disertai kekuatan tidak bisa menegakkan kebenaran. Sedangkan orang kuat tetapi tidak ikhlas, maka ia hanya akan mendapatkan kehinaan. Orang yang sempurna adalah orang yang bisa menyeimbangkan kedua-duanya. Barangsiapa yang lemah, maka dia hanya bisa melakukannya dengan ingkar dalam hati dan berserah diri kepada Allah, karena tidak ada kekuatan kecuali dari-Nya.”
Secara silih berganti dan berurutan, Ahmad bin Hambal menghadapi cobaan dari empat penguasa sekaligus. Di antara keempatnya ada yang mengancam dan menteror; ada yang yang memukul dan memasukannya ke penjara; ada yang menggiring dan berlaku kasar kepadanya; dan yang terakhir mengiming-imingi kekuasaan dan harta kekayaan.
Akan tetapi, semua itu justeru membuat Ahmad bin Hambal bertambah tegar dan tetap pada pendirian semula serta bertambah kuatlah keimanan dan keyakinannya. Hal ini merupakan indikator iman yang benar kepada Allah sebagaimana difirmankan-Nya :
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Al-Ahzab: 22)
Orang-orang mukmin yang benar imannya akan bertambah kadar imam dan ketundukannya kepada Allah dengan adanya cobaan dan ujian yang menimpanya. Sedangkan orang-orang munafik akan takut dengan cobaan tersebut sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.” (Al-Munafiqun: 4)
Al-Ulaimi berkata, “Ketika Al-Makmun Abu Ja’far bin Harun Ar-Rasyid mulai memerintah, tepatnya dimulai dari bulan Muharram, ada yang mengatakan Rajab tahun 198 Hijriyah, kaum Mu’tazilah mulai bersuara kembali dan mempengaruhi Al-Makmun untuk meninggalkan jalan yang benar menuju jalan yang batil. Mereka memperindah perkataan mereka yang hina dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Akibatnya, Al-Makmun pun mengikuti pendapat dan statemen mereka tersebut.
Menjelang akhir usia Al-Makmun, tepatnya sewaktu pasukan Al-Makmun keluar dari Baghdad hendak menyerang tentara Romawi, pada saat itulah, Al-Makmun menulis surat kepada Ishaq bin Ibrahim bin Mush’ab yang pada saat itu sebagai perwira tertinggi tentaranya agar mengajak kepada seluruh rakyatnya untuk mengikuti golongannya, yaitu golongan yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Kemudian, Ishaq bin Ibrahim menyeru para ulama, hakim dan para imam ahli hadits agar mengikuti seruan Al-Makmun, namun orang-orang yang menerima seruan tersebut menolaknya. Akhirnya, mereka pun menempuh jalan kekerasaan dan paksaan, sehirigga kebanyakan dan orang-orang tersebut pun mengikutinya dengan terpaksa. Akan tetapi, Ahmad bin Hambal tetap menolaknya sehingga Al-Makmun semakin geram dan marah. Pada saat Ahmad bin Hambal jelas-jelas menolak itulah, akhirnya dia dibawa dengan unta untuk di hadapkan kepada khalifah Al-Makmun.”
Abu Ja’far Al-Ambari mengatakan, “Tatkala Ahmad bin Hambal dalam perjalanan untuk di hadapkan Al-Makmun, dia duduk dalam keadaan lemas. Setelah aku menyeberangi sungai Efrat, maka aku berusaha menemuinya. Ketika aku bertemu dengannya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku mendengar dia berkata, “Wahai Abu Ja’far, apakah kamu merasa risau terhadapku?” Aku menjawab, “Ini sebenamya bukanlah kesusahan wahai saudaraku. Sesungguhnya sekarang ini kamu adalah pemimpin bagi manusia.
Pada saat ini banyak manusia mengikuti langkahmu. Demi Allah, kalau kamu membenarkan mereka untuk menganggap bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk, maka akan banyak sekali orang yang akan menerima pendapat tersebut. Namun, apabila kamu tidak menenimanya, maka kamu telah menghentikan banyak orang untuk mengikuti sepak terjang kesesatan langkah mereka. Oleh karena itu, meskipun kamu tidak dibunuh Al-Makmun pada saat nanti, maka pada waktunya nanti, kamu pasti juga akan mati. Bertakwalah kepada Allah dan jangan kamu terima pendapat mereka.” Akibat perkataanku itu, Ahmad bin Hambal lalu menangis dan berkata, “Apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi.”
Ahmad bin Hambal lalu diseret untuk dihadapkan kepada Khalifah Al-Makmun. Dalam kesempatan itu, Al-Makmun sudah menetapkan hukuman bagi Imam Ahmad untuk dibunuh kalau dia masih tidak mau menerima pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Setelah ketentuan hukuman Imam Ahmad sudah jelas, dia dibawa kembali untuk di masukkan penjara guna menunggu kapan hukuman mati yang ditetapkan Al-Makmun dilaksanakan.
Sewaktu dalam perjalan kembali menuju terali besi inilah, Imam Ahmad berdoa agar dirinya tidak dipertemukan lagi dengan Al-Makmun. Belum lama berselang, sewaktu Imam Ahmad masih dalam perjalanan, terdengar berita bahwa Al-Makmun telah meninggal. Al-Makmun meninggal pada bulan Rajab tahun 218 Hijriyah. Akibat kematian itulah, akhirnya Imam Ahmad dikembalikan lagi ke Baghdad untuk dipenjarakan.
Sepeninggal Al-Makmun, tampuk pemerintahan jatuh di tangan Al-Mu’tashim. Nama lengkap Mu’tashim adalah Abu lshaq Al-Mu’tashim Billah Muhammad bin Harun Ar-Rasyid.
Pada waktu itu, Al-Mu’tashim baru datang dari Romawi menuju ke Baghdad pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah. Pada masa Mu’tashim ini, Ahmad bin Hambal didera hukuman dengan cambukan yang pelaksanaanya terjadi di hadapannya.
Ada kabar yang menyebutkan bahwa ketika Al-Mu’tashim hendak menghadirkan Ahmad bin Hambal, di depan pintunya orang-orang ramai sekali berlalu-lalang seperti peristiwa hari raya. Pada waktu itu, digelarlah balai persidangan. Al-Mu’tashim berkata, “Bawa kemari Ahmad bin Hambal.”
Setelah Imam Ahmad dihadirkan dan berada di hadapan Al-Mu’tashim, ia memberi salam lalu berkata, “Wahai Ahmad, bicaralah dan jangan takut!” Imam Ahmad berkata, “Demi Allah, aku sudah masuk di sini berada di hadapmu. Sungguh, dalam hatiku tidak ada walau sekecil biji korma sekalipun rasa takut kepadamu.”
Al-Mu’tashim berkata, “Apa pendapatmu tentang Al-Qur”an?” Dia menjawab, “Al-Qur’an adalah firman Allah yang Qadim dan bukan makhluk. Allah telah berfirman :
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (AtTaubah: 6)”
Al-Mu’tashim bertanya lagi, “Apakah kamu mempunyai Hujjah yang lain?” Dia menjawab, “Ada, yaitu firman Allah yang berbunyi :
“[Tuhan] yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al Qur’an” (Ar Rahman 1-2)
Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, “[Tuhan] yang Maha Pemurah yang menciptakan Al-Qur”an.” Allah SWT juga berfirman,
“‘Yaa Sin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah.” (Yasin: 1-2)
Dalam ayat ini, Allah tidak berfirman, “Yaa sun. Demi Al-Qur’ an yang makhluk.”
Setelah mendengar penjelasan Imam Ahmad in Al-Mu’tashim lalu berkata, “Penjarakan dia.” Ahmad bin Hambal lalu di masukkkan penjara lagi dan buyarlah kumpulan manusia yang menyaksikan penistiwa akbar tersebut.
Keesokan harinya, Al-Mu’tashim duduk di kursi singgasananya dan berkata, “Datangkan kepadaku Ahmad bin Hambal.” Lalu, orang banyak pun berkumpul sampai aku mendengar kegaduhan di Baghdad. Tatkala Imarn Ahmad sudah tiba dan berdiri tepat di hadapannya, terlihat pedang sudah terhunus, tombak sudah diarahkan, perisai bertebaran membentuk pagar betis, tiang gantung sudah ditegakkan dan cambuk sudah disiapkan.
Al-Mu’tashim lalu bertanya kepada Imam Ahmad tentang pendapatnya mengenai Al-Qur’an. Kemudian Imam Ahmad menjawab, “Aku katakan bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk.” Al-Mu’tashim bertanya lagi, “Apa dalilmu?” Imam Ahmad menjawab “Dan Abdurrazaq dari Ma’mar dari Az-Zuhri dari Anas, dia berkata, “Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya firman Allah yang dikhususkan kepada Musa adalah 100313 (seratus ribu tiga ratus tiga belas) kalimat. Firman ini bersumber dari Allah dan Musa
mendengarkannya.”
Kemudian Allah juga berfirman,
“Akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripada-Ku; “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (As-Sajdah: 13)
Jadi, ketika perkataan (ketetapan) itu dari Allah, maka Al-Qur’an itu Kalamullah.
Tidak puas dengan menanyainya, Al-Mu’tashim lalu mengeluarkan Imam Ahmad ke dalam kelompok para ulama ahli fikih dan hakim untuk berdebat. Selama tiga hari berdebat, Imam Ahmad bin Hambal dapat membungkam dan mengalahkan argumen mereka. Ahmad bin Hambal memberikan keterangan yang jelas dan tidak terbantahkan lagi dengan berkata, “Aku adalah orang berilmu yang belum pemah melihat pendapat ini. Oleh karena itu, tunjukkanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dan hadits supaya aku menerima pendapat kalian.”
Ketika mereka memberikan dalil untuk mendukung dan menguatkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka Imam Ahmad berkata kepada mereka, “Bagairnana aku akan mengatakan sesuatu yang tidak disinggung Al-Qur’an?”
Sungguh, mereka yang berdebat dengan Imam Ahmad bin Hambal adalah orang-orang yang fanatik. Di antara mereka adalah; Muhammad bin Abdil Malik yang menjabat sebagai menteri Al-Mu’tashim, Ahmad bin Abi Al-.Qadhi serta Bisyr Al-Muraisi. Mereka semua adalah orang Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Ibnu Abi Dawud dari Bisyr Al-Muraisi mengusulkan kepada khalifah, ‘Bunuh saja orang ini (Ahmad bin Hambal) sehingga kita bisa beristirahat dengan tenang. Sungguh, Ahmad bin Hambal adalah orang kafir yang menyesatkan.”
Al-Mu’tashim menjawab, “Aku sudah berjanji kepada Allah untuk tidak membunuhnya memakai pedang dan tidak akan memerintahkan membunuhnya dengan pedang.” Mendengar jawaban ini, keduanya lalu berkata, “Kalau begitu, bunuh saja dia dengan cambuk.”
Al-Mu’tashim berkata kepada Ahmad bin Hambal, “Demi kekerabatanku dengan Rasulullah, sesungguhnya kami akan menderamu dengan cambuk atau kamu berkata seperti yang kami katakan?” Namun, hal itu tidak membuat Imam Ahmad berubah pikiran, sehingga Al-Mu’tashim lalu memerintahkan kepada ajudannya, “Datangkan ke sini algojo ahli cambuk.” Al-Mu’tashim lalu bertanya kepada seorang dari algojo-algojo itu, “Berapa cambukan yang kamu butuhkan untuk dapat membunuhnya?” Ia menjawab, “Sepuluh kali.” Al-Mu’tashim berkata, “Lakukanlah apa yang kamu butuhkan.” Kemudian baju Imam Ahmad dibuka dan kedua tangannya diikat dengan tali yang masih bana.
Sewaktu Al-Mu’tashim melihat cambuk-cambuk yang akan digunakan, maka dia memerintahkan agar cambuknya diganti dengan yang baru. Ketika proses pencambukan Imam Ahmad itu berlangsung, Al-Mu’tashim turut hadir menyaksikannya.
Pada deraan cambukan pertama, Imam Ahmad bin Hambal mengucapkan, “Bismillah (dengan nama Allah).” Pada cambukan kedua dia berkata, “La Haula wa la quwwata illa billah (tidak ada daya dan kuasa kecuali dari Allah).” Pada cambukan ketiga dia berkata, “Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk.” Pada deraan cambukan keempat, dia berkata dengan mengutip ayat Al-Qur’an : “Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami,” (At-Taubah: 15). Akibatnya, Al-Mu’tashim memerintahkan agar cambukan lebih diperkeras lagi. Ketika sampai pada cambukan yang ke sembilan belas, Al-Mu’tashim bangkit dan tempat duduknya beijalan mendekati Imam Ahmad dan berkata, “Wahai Ahmad, apakah rasa sakit telah mematikan jiwainu? Harus dengan apa kamu ingin mengakhiri hidupmu? Demi Allah, sesungguhnya aku sangat kasihan melihatmu begini. Apakah kamu ingin mengalahkan mereka semua!”
Sebagian ahli cambuk Al-Mu’tashim berkata, “Celakalah kamu wahai Ahmad, sang khalifah berdiri di atas kepalamu.” Sebagian lagi berkata, “Wahai Amirul Mukminin, percikan darah Ahmad mengenai leherku. Bunuh saja dia!” Sedangkan yang lain berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Ahmad sedang berpuasa, sedang paduka berdiri di bawah terik matahari!”
Kemudian Al-Mu’tashim berkata, “Wahai Ahmad, gerangan apakah yang ingin kamu katakan?” Imam Ahmad menjawab, “Berikanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dan hadits Nabi sehingga aku akan mengatakan sebagaimana yang paduka katakan.”
Al-Mu’tashim lalu kembali lagi ke kursi tempat duduknya dan memerintahkan kepada algojo mencambuknya, “Interogasi dia dengan cambuk agar mau mengatakannya!”
Tidak lama berselang, Al-Mu’tashim berdiri lagi mendekati Imarn Ahmad dan berkata, “Wahai Ahmad, kasihanilah dirimu dan ikutlah denganku! Sesungguhnya ketika kamu ikut denganku, gelar imam akan tetap kamu sandang.”
Lalu Imam Ahmad menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, berikanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dan hadits Nabi sehingga aku mengatakan sebagaimana paduka.”
Al-Mu’tashim pun kembali lagi ke tempat duduknya. Dia perintahkan memperkeras mencambuknya, akibatnya Imam Ahmad bin Hambal tidak sadarkan diri.
Pada saat tidak sadarkan diri itulah, badan Imam Abmad ditaruh di atas tikar milik seseorang. Ketika sudah sadar, maka mereka memberikan bubur kepadanya untuk makan dan minum. Namun Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan memakan dan meminumnya. Aku tidak ingin membatalkan puasaku.”
Lalu, mereka membawa Ahmad ke rumah Ishaq bin Ibrahim. Imam Ahmad menunaikan shalat Zhuhur di sana dan Ibnu Sama’ah menjadi makmumnya. Setelah shalat, Ibnu Sama’ah berkata, “Wahai Ahmad, kamu mengerjakakan shalat sedang darah mengalir membasahi bajumu?” Maka Imam Ahmad menjawab, “Umar bin Al-Khathab telah menunaikan shalat, sedang lukanya tetap mengalirkan darah.”
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa ujian yang berat itu terjadi pada tahun 219 Hijniyah. Sedang ketika aku (Adz-Dzahabi) perhatikan dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa peristiwa itu tenjadi pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan tahun 220 Hijriyah.
Kisah yang benar adalah sebagaimana kami sebutkan di depan bahwa cobaan berat ini berawal pada bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah dengan dalil Bisyr Al-Muraisi sebagai otak penyulut bencana meninggal pada tahun 218 bulan Dzulhijjah.
Walaupun ada juga yang menyebutkan bahwa Bisyr Al-Muraisi meninggal pada tahun 219, akan tetapi pendapat ini kurang tepat karena Al-Mu’tashim memerintah setelah Al-Makmun. Al-Mu’tashim masuk Baghdad pada awal Ramadhan tahun 218, dan Ahmad bin Hambal dipenjara bersamaan ketika Al-Mu’tashim sedang masuk Baghdad.
Aku juga melihat keterangan lain yang menyatakan bahwa Ahmad bin Hambal dikeluarkan dari penjara pada bulan Ramadhan tahun 220 Hijriyah. Keterangan ini mendukung apa yang telah kami paparkan bahwa Imam Ahmad mendekam di penjara sekitar 28 (dua puluh delapan) bulan. Berawal dan menjelang Al-Makmun meninggal pada bulan Rajab tahun 218 Hijriyah sampai bulan Ramadhan tahun 220 adalah sekitar dua puluh delapan bulan.
Dari keterangan ini, maka mihnah (cobaan) itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun 218 Hijriyah dan Ahmad bin Hambal keluar dari penjara pada tahun 228 Hijriyah. Wallahu a’lam.
Setelah Al-Mu’tashim meninggal, naiklah Abu Ja’far Al-Watsiq Harun bin Al-Mu’tashim sebagai khalifah pada bulan Rabiul Awal tahun 227 Hijniyah. Biarpun Abu Ja’far tidak mendera Ahmad bin Hambal dengan cambukan, akan tetapi dia telah mengasingkan Imam Ahmad. Tahanan ini bermula dari pengasingan di suatu daerah, kemudian Ahmad dipindah ke rumahnya dan ditetapkan dengan hukuman tahanan rumah. Imam Ahmad tetap bersabar dengan hukuman itu sampai pada akhimya Al-Watsiq meninggal.
Berdasarkan kisah Ibrahim Nafthawiyah dari Hamid bin Al-Abbas dari seseorang dari Al-Muhtadi bahwa sebelum Al-Watsiq meniriggal, ia telah bertaubat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Setelah Al-Watsiq mangkat, maka naiklah Al-Mutawakkil sebagal khalifah pada bulan Dzulhijjah. Nama Al-Mutawkkil adalah Abul Fadhi Ja far bin Al-Mu’tashim. Corak kepemimpinan Al-Mutawakkil ini berbeda dengan para pendahulunya, Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalain hal akidah. Dia justru mencela pendahulunya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan melarang para masyarakat untuk memperdebatkan masalah tersebut.
Sebagai gantinya, dia membuka lebar-lebar bagi ulama ahli hadits untuk menyebarkan dan meriwayatkan hadits. Akibatnya, berkibarlah bendera akidah Ahlu sunnah dan matilah bid’ah. Semua ulama yang dahulu dipenjarakan karena masalah Al-Qur’an makhluk dibebaskan. Sebagai penggantinya, dimunculkan surat keputusan yang berisi perintah penahanan terhadap Muhammad bin Abdil Malik Az-Ziyat Al-Wazir yang akhirnya di penjarakan di Tanur sampai meninggal. Peristiwa itu terjadi pada tahun 233 Hijriyah.
Empat puluh tujuh hari setelah Muhammad bin Abdil Malik Az-Ziyat Al-Wazir meninggal, hakim Ahmad bin Abi Dawud terkena penyakit mati separoh badannya. Oleh karena itu, kedudukan hakim lalu digantikan putranya yang bernama Abul Walid Muhammad. Akan tetapi, banyak masyarakat yang tidak senang terhadap langkah Abul Walid Muhammad ini. Akibatnya, teguran keras dan sangsi muncul dari Khalifah Al-Mutawakkil kepada Abmad bin Abi Dawud dan anaknya.
Semua harta kekayaannya yang berjumlah 120.000 (seratus dua puluh ribu) dinar dan permata senilai 40.000 (empat puluh ribu) dinar disita pemerintah. Tidak itu saja, Ahmad bin Abi Dawud pun digiring ke Baghdad dari tempat tinggalnya semula, Surra Man Ra’a. Selanjutnya, jabatan hakim digantikan Yahya bin Aktsam. Ahmad bin Abi Dawud akhirnya meninggal akibat penyakit yang dideritanya pada bulan Muharram tahun 240 Hijriyah. Sedang anaknya meninggal dua puluh hari lebih dahulu dari dirinya.
Adapun Bisyr Al-Muraisi, maka ia telah binasa pada Dzulhijjah 218 atau 218 Hijriyah.”
Dan Imran bin Musa, dia berkata, “Ketika aku menjenguk Abul Aruq Al-Jallad, orang yang telah mencambuk Imam Ahmad, aku menemukannya selama 45 (empat puluh lima) hari ia hidup menggonggong seperti anjing.”
Semua orang yang telah mendera Ahmad bin Hambal mendapat hukuman dari Allah. Sedang mereka yang memaksakan bid’ah terhadapnya dihinakan Allah. Semuanya terjadi karena kekuasaan dan kehendak-Nya dan berkah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Setelah Al-Mutawakkil menjabat sebagai khalifah, ia sangat memperhatikan kesejahteraaan, memuliakan dan mengagungkan Ahmad bin Hambal. Dia menulis surat kepadà gubernur Baghdad agar datang menghadapnya dengan mengajak Imam Ahmad ke Surra Man Ra’a sebagai pusat pemerintahan.
Abdullah bin Ahmad mengkisahkan bahwa telah datang utusan Al-Mutawakkil kepada Ahmad bin Hambal. Utusan itu memberitahukan bahwa Al-Mutawakkil mengharap sekali kedatangan Imam Ahmad dan doa restunya.
Namun, Imam Ahmad menyikapi pemberian itu justru dengan menangis seraya berkata, “Sejak enam puluh tahun aku dapat selamat dari ini semua. Akan tetapi, dipenghujung usiaku, Engkau uji aku dengan ini.” Imam Ahmad tidak menyentuh pembenian itu.”
Al-Mutawakkil selalu menginimkan uang tunjangan kepada Ahmad bin Hambal, namun Imam Ahmad tidak pemah mau menerimanya. Akibatnya, Al-Mutawakkil berpesan, “Apabila Imam Ahmad tidak mau menerima hadiah uang ini, maka biarlah ia membagikannya kepada orang yang berhak menerimanya biarpun ia tidak mengambil uang ini sedikit pun.”
Tidak itu saja, Al-Mutawakkil juga selalu mengirimkan makanan dan buah-buahan khusus untuk Imam Abmad, akan tetapi ia juga tidak pernah menyentuhnya.
Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, “Ketika Al-Mutawakkil menyuruh agar Imam Ahmad dibelikan rumah khusus,” maka Imam Ahmad berkata kepada Shaleh, “Kalau kamu mengikuti apa yang telah mereka perintahkan kepadamu, maka putuslah hubungan antara kamu denganku.’ Walau demikian, Shaleh tetap membeli rumah dari uang pemberian Al-Mutawakkil.
Al-Mutawakkil tidak pernah membuat keputusan apapun kecuali setelah bermusyawarah dengan Ahmad bin Hambal. Demikianlah, Imam Ahmad melalui sisa hari-harinya dengan alam kesederhanaan sampal meninggaL Dan surat dari Al-Mutawakkil seringkali datang menanyakan kabarnya dan terkadang surat itu untuk bermusywarah.’
Diambil dari :
Buku : 60 Biografi Ulama Salaf
karya : Syaikh Ahmad Farid
penerbit : Pustaka al-Kautsar.